Senin, 25 Juli 2011

LAIN-LAIN

LAIN-LAIN
1. Bersalaman Setelah Shalat
Bersalaman antara kaum muslimin merupakan suatu ibadah yang dianjurkan oleh agama, bahkan hal tersebut dipraktekkan sendiri oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau bertemu dengan para sahabatnya beliau tidak pernah ketinggalan untuk menyalami mereka.

# Dan suatu riwayat dijelaskan bahwa Thalhah bin Ubaidillah berdiri dari suatu halaqah (kumpulan) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang berada di masjid menuju ke arah Ubay bin Ka’ab radhiallahu anhu ketika turun ayat yang menjelaskan tentang diterimanya taubat beliau oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Thalhah menyalaminya serta mengucapkan selamat padanya dengan berita gembira tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Al-Bara radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Tidak ada dua orang muslim yang bertemu dan saling bersalaman melainkan keduanya akan diampuni sebelum keduanya berpisah.” (HR Abu Dawud)

# Dari Busyair bin Ka’ab Al-‘Adwi dari seorang laki-laki dari Anazah bahwasanya ia pernah bertanya kepada Abi Dzar radhiallahu anhu ketika beliau keluar dari negeri Syam:
Aku ingin bertanya padamu tentang suatu hadits dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abu Dzar berkata: “Kalau begitu aku akan memberitahukannya padamu, kecuali jika seuatu yang bersifat rahasia.” Aku berkata: “Ini bukan suatu rahasia, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyalami kalian jika kalian bertemu dengan beliau?” Abu Dzar berkata: “Tidak pernah sekali pun aku bertemu dengannya melainkan beliau selalu menyalamiku, dan beliau pernah mengutus seseorang untuk menemuiku tetapi aku tidak berada di rumah. Setelah aku datang, aku diberitahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menemuiku, maka akau mendatangi beliau ketika sedang berada di atas tempat tidurnya, kemudian ia memelukku. Dan hal tersebut lebih baik (dari sekedar bersalaman dalam hal menumbuhkan rasa cinta dan persaudaraan) (HR Abu Dawud)

Oleh karena itu disunnahkan untuk bersalaman ketika kita bertemu dengan saudara kita di masjid atau ketika sudah berada dalam shaf shalat. Dan apabila kita tidak sempat bersalaman sebelum shalat, maka kita disunnahkan untuk melakukan setelahnya. Hanya saja pelaksanaan bersalaman setelah shalat dilakukan setelah membaca dzikir-dzikir ba’da shalat.

Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin yang biasa bersalaman langsung setelah mengucapkan salam ketika shalat fardhu, merupakan suatu amalan yang tidak berlandaskan dalil. Oleh karena itu selayaknya amalan itu tidak dilakukan, karena yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah salam adalah membaca dzikir-dzikir sebagaimana yang diajarkan oleh beliau.

Sedangkan bersalaman setelah shalat sunnah, maka diperbolehkan melakukannya setelah salam jika sebelumnya kita tidak sempat melakukannya. Tetapi jika kita telah bersalaman sebelumnya maka hal tersebut sudah cukup.

2. Shalat Sendiri Atau Berjama’ah?
Kalau kepastian untuk bisa shalat berjama’ah itu jelas, maka shalat berjama’ah lebih utama meski waktunya agak mundur, tidak tepat begitu adzan selesai berkumandang.

Misalnya ada sebuah kelas yang sedang belajar dan waktu belajarnya baru selesai 30 menit setelah waktu Dzuhur masuk. Maka sebaiknya seseorang tidak keluar kelas lalu shalat sendirian, sebab nanti begitu kelas selesai akan ada shalat berjama’ah meski waktunya agak mundur sampai 30 menit.

Maka menunda shalat sendiri untuk mendapatkan shalat jama’ah adalah lebih utama, asalkan ada kepastian berkumpulnya jama’ah itu.

# Dari Ubay bin Ka'ab radhiallaahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Shalat seseorang bersama orang lain (berdua) lebih besar pahalanya dan lebih mensucikan daripada shalat sendirian, dan shalat seseorang ditemani oleh dua orang lain (bertiga) lebih besar pahalanya dan lebih menyucikan daripada shalat dengan ditemani satu orang (berdua), dan semakin banyak (jumlah jama'ah) semakin disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasai, hadits hasan)

3. Berdiri Ketika Mendengar Adzan
Berdiri ketika mendengar adzan bagi orang yang baru masuk masjid merupakan peng-amalan dua ibadah sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Yang pertama adalah mendengarkan dan menjawab adzan, sedangkan yang kedua adalah melaksanakan shalat Tahiyyatul Masjid.
Menjawab adzan bisa dilakukan dalam posisi apapun, sedangkan shalat tahiyyatul masjid diperintahkan untuk dilaksanakan sebelum duduk di masjid. Oleh karena itu, mereka yang baru masuk ke masjid dan mendengarkan adzan, biasanya berdiri terlebih dahulu sampai adzannya selesai, kemudian melaksanakan shalat sunnah tahiyyatul masjid.

Kecuali pada hari Jum'at, kalau seandainya kita masuk masjid sedangkan adzan sedang dikumandangkan, maka shalatlah langsung, karena mendengarkan dan menjawab adzan hukumnya sunnah sedangkan mendengarkan khotbah hukumnya wajib. Maka kita mendahulukan yang wajib di atas yang sunnah.

4. Mendengarkan Dan Menjawab Adzan
# Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Jika kamu mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa diucapkan oleh muadzin.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Namun khusus ketika mendengar bacaan hayya ’alatain, yaitu bacaan Hayya ‘alash Shalah dan Hayya ‘alal Falah, maka disunnahkan untuk membaca lafal Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah, sebagaimana yang diriwayatkan dari hadits Umar radhiallahu anhu berikut ini:

# Dari Umar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Bila muadzin mengucapkan Allahu Akbar 2x, maka ucapkanlah Allahu Akbar 2x, namun bila muadzin mengucapkan Hayya ‘alash Shalah, maka ucapkan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah, dan bila muadzin mengucapkan Hayya ‘alal Falah, maka ucapkan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Di dalam hadits lainnya ada disebutkan bahwa ucapan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah itu merupakan harta terpendam yang ada di surga.

# Dari Abi Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah adalah kanzun (harta terpendam) dari harta-harta yang ada di surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid
# Dari Abu Qatadah As-Sulami radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, hendaklah dia melaksanakan shalat dua raka’at sebelum duduk.” (HR Bukhari dan Muslim)

6. Shalat Sunnah Ketika Iqamah Dikumandangkan
Berkaitan dengan persoalan mengenai shalat sunnah ketika iqamah dikumandangkan, ada beberapa riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan hal tersebut:

# Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Apabila iqamah telah dikumandangkan maka tidak ada shalat selain shalat fardhu” (HR Muslim)

Sebagian ulama mengatakan, kalau seandainya kita sudah di tasyahud, maka selesaikanlah shalatnya, kemudian ikut berjama’ah.

# Dari Ibnu Buhainah radhiallaahu anhu, ia berkata:
Shalat Shubuh akan segera dilaksanakan kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang sedang shalat dan muadzin sedang iqamah, maka beliau berkata: Apakah kamu melaksanakan shalat Shubuh empat raka’at?” (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Abdullah bin Sarjis radhiallaahu anhu, ia berkata:
Seorang laki-laki memasuki masjid sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sedang melaksanakan shalat Shubuh, maka laki-laki tersebut shalat dua raka’at di pinggir masjid kemudian ikut shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai mengucapkan salam beliau berkata : Wahai fulan! Diantara dua shalatmu mana yang kamu hitung? Apakah shalatmu yang sendirian atau shalatmu bersama kami?” (HR. Muslim)

Akan tetapi hadits-hadits diatas dan yang semakna dengannya, tidak dapat dijadikan dalil bahwa setiap orang yang sedang shalat sunnah harus membatalkan shalatnya tersebut ketika mendengar iqamah. Semuanya tergantung imam yang akan memimpin shalat dan sudah sampai dimana ia melaksanakan shalat sunnahnya.

Jika dia baru takbiratul ihram atau masih dipermulaan raka’at pertama kemudian mendengar iqamah dikumandangkan serta kemungkinan besar akan ketinggalan berjama’ah dengan imam (ikut takbirutul ihram bersama imam) maka dia harus membatalkan shalatnya. Tetapi jika ketika mendengar iqamah tersebut ketika ia sedang sujud raka’at kedua atau sedang ruku’ raka’at kedua dan ia yakin tidak akan ketinggalan berjama’ah bersama imam maka ia tidak perlu membatalkan shalat sunnahnya tersebut. Hanya saja ia diharuskan menyegerakan pelaksanaan shalat sunnahnya tersebut

7. Melintas Di Depan Orang Yang Sedang Shalat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang melintas di depan orang yang sedang shalat.

# Dari Abi Juhaim radhiallaahu anhu, ia berkata: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Seandainya orang yang melintas di depan orang shalat tahu dosa apa yang menimpanya, pastilah ia menunggu (hingga shalat selesai) meski selama 40 tahun karena lebih baik baginya daripada melintas di depan orang shalat. (HR. Muttafaq 'Alaih)

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Jika orang yang berjalan di depan orang yang tengah mendirikan shalat mengetahui dosa apa yang diterimanya, maka alangkah lebih baik baginya i’tikaf empat puluh daripada ia berjalan di depan orang mereka. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Hadits ini menjelaskan tentang larangan melintas di depan orang shalat yang batasnya adalah jarak antara orang itu berdiri dan titik tempat sujudnya. Baik shalat itu shalat wajib atau shalat sunnah. Juga baik shalat itu shalat sendirian atau shalat berjama’ah.

Menurut Asy-Syaukani, “Hadits di atas menjelaskan bahwasanya berjalan di depan orang yang sedang mendirikan shalat merupakan dosa besar dan dapat mengiring pelakunya masuk neraka, baik orang yang shalat itu tengah mendirikan shalat fardhu atau sunnah tanpa terkecuali.”

Namun bila melintas di luar batas (sutrah), maka hukumnya boleh. Batas itu sendiri disunnahkan untuk dibuat bagi tiap orang yang akan melaksanakan shalat. Bisa berbentuk tongkat, garis, batu, tanah atau barang bawaan seperti tas, dompet, kacamata dan lainnya. Intinya, dia meletakkan sesuatu di depannya agar orang jangan melintas di tengahnya.

# Dari Sabrah bin Ma'bad al-Juhani, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Hendaknya setiap kamu membuat batas (untuk shalat) meski hanya dengan panah.” (HR. Al-Hakim)

Adanya sutrah atau batas ini bisa dijadikan patokan bahwa bila akan melintas di depan orang yang sedang shalat, maka dibolehkan bila diluar area sujudnya yang dibatasi dengan benda-benda tertentu yang sengaja diletakkan oleh orang itu sebelum memulai shalatnya.

Dengan demikian, shalatnya itu tidak mengganggu lalu lintas orang lain yang akan masuk dan keluar masjid. Hal ini menjadi penting terutama bila ada orang yang shalat di masjid, namun posisinya di daerah dimana banyak orang lalu-lalang untuk masuk atau keluar masjid.

Bila sutrah sudah dibuat, maka haram hukumnya bagi orang lain untuk melintas di tangahnya. Dan bagi orang yang shalat, bila ada yang akan melintasi batas itu, dia berhak untuk mencegahnya.

# Dari Abi Said Al-Khudri radhiallaahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila salah seorang di antara kamu shalat dan telah membuat suatu pembatas (sutrah) yang menghalangi dari orang yang lewat, lalu jika ada orang yang ingin melintas (di dalam batas itu), maka hendaklah ia mencegahnya. Bila orang itu tetap melintas, maka perangilah dia karena dia itu (hakikatnya) adalah syetan.” (HR. Mutafaq 'Alaih)

Hadits ini memberi pengertian kepada kita bahwa seorang yang shalat harus mencegah orang melintas di depannya bila dia telah memasang batas. Bagaimana bila dia tidak memasang batas itu?
Al-Qurthubi mengatakan dalam hal ini cukup orang itu memberi isyarat dengan tangan untuk mencegah orang melintas di depannya. Bila tidak mau, maka boleh diperangi. Maksudnya boleh mencegah dengan lebih keras dari sebelumnya.

Sedangkan hikmah mengapa orang yang melintas harus dicegah, para ulama ada yang mengatakan bahwa hal itu demi kebaikan orang yang shalat agar tetap khusyu'. Selain itu juga untuk mencegah agar orang yang ingin melintas itu tidak sampai melakukan dosa akibat perbuatannya.

Balita bukanlah orang yang terkena kewajiban dan larangan dalam agama. Karena dia belum akil balihg, maka apa yang dikerjakannya berada di luar aturan-aturan syariat. Menjadi kewajiban orang tuanya untuk mengajarkan untuk tidak melanggar larangan seperti lewat di depan orang shalat. Tapi bila masih balita, satu atau dua tahun, memang belum masanya untuk diajarkan hal terlalu jauh. Bahkan sementara riwayat mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan Hasan dan Husein cucunya menungganginya saat sujud sehingga beliau sujud cukup lama untuk menunggu keduanya turun dari punggung beliau. Meski tidak langsung berkaitan dengan lewat di depan orang shalat, namun hadits-hadits seperti di atas menunjukkan adanya sikaf rifq terhadap anak kecil (balita), termasuk dalam shalat.

V. KHUSYU’ DALAM SHALAT
Tak sembarang orang mukmin yang mampu dengan mudah mengabadikan amalan shalat, apalagi dalam ujud yang sempurna rukun dan syaratnya, ditambah sejumlah sunnah-sunnah yang juga terdapat dalam shalat. Kemudahan itu hanya milik mereka yang mampu tampil khusyu' dalam shalatnya. Dalam hal itu, Allah sudah menegaskan:

# "Dan sesungguhnya yang demikian itu (shalat) amatlah berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'" (QS. Al-Baqarah: 45)

Sayangnya, kebanyakan kaum muslimin sering menjadi pelanggan shalat yang kerap alpa, dan lalai melakukannva. Itu sudah menjadi ketentuan ilahi yang akan berlaku, dan akan diperbuat oleh satu generasi di akhir jaman.

# "Maka datanglah sesudah mereka generasi yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya; maka mereka kelak akan menemui kesesatan." (QS. Maryam: 59)

Padahal, shalat adalah amalan yang paling utama, yang pertama kali akan dihisab dari seorang hamba di hari akhir nanti. Bahkan Rasulullah menjadikannya sebagai wasiat akhir sebelum kematian beliau. Beliau bersabda:

# "Allah, Allah, (Wahai kaum Muslimin) peliharalah shalat, peliharalah shalat dan bertakwalah kepada Allah, serta peliharalah para hamba sahaya yang menjadi milikmu." (HR. Abu Dawud: 5156, Ibnu Majah: 2689, Ahmad: 1/78 dan Al-Baihaqi: VIII/11, dari hadits Ali 414).

Demikianlah keagungan nilai shalat, dan demikian sebagian di antara ratusan dalil yang berbicara tentang keutamaan shalat. Dengan itu, kita dapat menilai realita yang ada di kalangan kita kaum Muslimin: Yaitu realita menganggap shalat hanya sebagai rutinitas hidup, instrumen pelengkap dalam putaran roda kehidupan, yang tak lagi memiliki ruh, kualitas dan kemuliaan yang seharusnya melekat pada ibadah shalat tersebut.

Shalat sudah dianggap melelahkan, terlalu menguras waktu, dan terkesan membosankan. Dan satu hal yang lumrah jika persepsi itu memasyarakat, karena kaum Muslimin -kecuali yang mendapat rahmat Allah- sudah kehilangan miliknya yang paling berharga dalam menjalankan shalat, yaitu: kekhusyu'an. Nabi bersabda:

# "Sesungguhnya karunia pertama yang dicabut Allah dari para hamba-Nya adalah kekhusyu'an dalam shalat." (HR. Bukhari dalam "Khalqu Af'ali Al-'Ibad" hal. 62, Ath-Thabrani dalam "Al-Mu'jam A1-Kabir": 7183, An-Nasa'i dalam "As-Sunan Al-Kubra": 5909 dan lain-lain dari Syaddad, bin 'Aus)

Oleh sebab itu, sedapat mungkin kita berupaya memperoleh kembali (kalau sungguh telah hilang dari kita) kekhusyu'an dalam shalat yang menjadi ciri mereka yang meyakini hari kebangkitan; berusaha membiasakannya dalam diri kita, bahkan mencari cara dalam ajaran As-Sunnah yang dapat menguak jalan ke arah itu.

A. DEFINISI DAN PENGERTIAN KHUSYU'
1. Secara Bahasa
Secara bahasa, kata khusyu' memiliki beberapa arti yang sama:

a) Tunduk, Pasrah. Merendah Atau Diam
Artinya mirip dengan kata khudu'. Hanya saja kata khuduk' lebih sering digunakan untuk anggota badan, sedangkan khusyu' untuk kondisi dan gerak-gerik hati (Lihat Mu'jamu Maqasiyisi al-Lughah: II/152, Bashairu Dzawi At-Tamyiz: II/541-543, Tafsir Al-Baghwi: III/301, Tafsir Abi As-Su'ud: VI/123 dan Fathul Bari: II/225)

b) Rendah Perlahan, Biasanva Digunakan Untuk Suara
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

# "Dan (khusyu') merendahlah semua suara kepada Rabb Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar melainkan bisikan saja." (QS. Ath-Thaha: 108)

c) Diam, Tak Bergerak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

# "Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, kamu lihat bumi itu diam tak bergerak, dan apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur." (QS. A1-Fushilat: 39)

2. Menurut Istilah
Khusyu' artinya: kelembutan hati, ketenangan sanubari yang berfungsi menghindari keinginan keji yang berpangkal dari memperturutkan hawa nafsu hewani, serta kepasrahan di hadapan ilahi yang dapat melenyapkan keangkuhan, kesombongan dan sikap tinggi hati.

Dengan itu, seorang hamba akan menghadap Allah dengan sepenuh hati. Ia hanya bergerak sesuai petunjuk-Nya, dan hanya diam juga sesuai dengan kehendak-Nya. (Lihat "A1-Khusyu' fi Ash-Shalah" oleh Ibnu Rajab Al-Hambali)

Adapun pengertian khusyu' di dalam shalat:

# “Kondisi hati yang penuh dengan ketakutan, mawas diri dan tunduk pasrah di hadapan keagungan Allah. Kemudian semua, itu membekas dalam gerak-gerik anggota badan yang penuh khidmat dan konsentrasi dalam shalat, bila perlu menangis dan memelas kepada Allah; sehingga tak memperdulikan hal lain.” ('Lihat Al-Khusyu' karya Al-Hilali)

Pengertian khusyu' tersebut diambil dari firman Allah:

# "..yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.." (QS. Al-Mukminun: 1-2)

Mengenai makna kekhusyu'an itu, Ibnu Abbas menandaskan: "Artinya penuh takut dan khidmat." A1-Mujahid menyatakan: "Tenang dan tunduk." Sementara Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan:

# "Yang dimaksud dengan kekhusyu’an di situ adalah kekhusyu'an hati."

Lain lagi dengan Hasan al-Bashri, beliau berkata:

# "Kekhusyu'an mereka itu berawal dari dalam sanubari, lalu terkilas balik ke pandangan mata mereka sehingga mereka menundukkan pandangan mereka dalam shalat."

Imam Atha' pernah berkata:

# "Khusyu' artinya, tak sedikitpun kita mempermainkan salah satu anggota tubuh kita."

Jadi artinya, kekhusyu’an dalam shalat bukanlah sekedar kemampuan memaksimalkan konsentrasi sehingga fikiran hanya terfokus dalam shalat. Namun kekhusyu'an lebih merupakan kondisi hati yang penuh rasa takut, pasrah, tunduk dan sejenisnya; yang membias dalam setiap gerakan shalat sehingga menjadi nampak anggun, khidmat dan tidak serampangan.

B. KIAT KHUSYU' DALAM SHALAT
Ada beberapa kiat khusyu' dalam shalat yang kerap kali disinggung oleh para ulama dalam buku-buku mereka khususnya yang berkenaan dengan hukum dan tata cara shalat. Di antaranya:

1. Mengenal Allah, Menghadirkan, Mengagungkan dan Takut Kepada-Nya
Orang yang paling khusyu' dalam shalat adalah orang yang paling bertakwa, sebagaimana firman Allah:

# “(orang-orang yang khusyu' yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Rabb mereka, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (QS. Al-Baqarah: 46)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

# "Sesungguhnya yang takut (bertakwa) kepada Allah hanyalah para ulama." (QS. Al-Fathir: 28)

Maksudnya, hanya orang-orang yang berilmu yang tergolong bertakwa kepada. Allah. Dan tentunya, hanya merekalah yang digolongkan orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya. Yang dimaksud dengan ilmu di sini tentunya ilmu yang shahih yang membuahkan amalan shalih. Karena itu Al-Hasan al-Bashri pernah menyatakan:

# "Ilmu itu ada dua macam: ilmu ungkapan lidah, dan ilmu di sanubari. Adapun ilmu sanubari, itulah ilmu yang bermanfaat. Sedangkan ilmu ungkapan lidah, adalah hujah Allah atas manusia."

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

# "Apakah kamu yang lebih beruntung wahai orang-orang musyrik, ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam, dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut akan (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya..." (QS. Az-Zumar: 9)

2. Menyadari Bahwa Shalat Adalah Perjumpaan, Sekaligus Komunikasi Dirinya Dengan Allah
Hal itu telah diisyaratkan dalam hadits Nabi:

# "Apabila seorang di antaramu sedang shalat, sesungguhnya dirinya sedang berkomunikasi dengan Allah….” (HR. Bukhari: 531, Muslim: Syarah Nawawi: 5/40-41, An-Nasa'i: 1/163. 11/52-53 dan lain-lain)

Imam Nawawi berkata:

# "Sabda beliau: "..sesungguhnya ia sedang berkomunikasi kepada Rabb-nya...", merupakan isyarat akan pentingnya keikhlasan hati, kehadirannya {dalam shalat) dan pengosongannya dari selain berdzikir kepada Allah... " (Lihat Syarhu Shahih Muslim V/40-41)

Jika.shalat adalah komunikasi seorang hamba kepada Allah, dan itu sudah disadari oleh orang yang shalat; maka sudah selayaknya hal itu memacu dirinya.untuk bersikap khusyu'. Karena diapun sadar, bahwa segala gerak hatinya, apalagi gerak tubuh kasarnva, pasti selalu diperhatikan oleh Allah.

3. Ikhlas Dalam Melaksanakannya
Keikhlasan adalah ruh amal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

# "Yang menjadikan hidup dan mati, agar Dia menguji kamu; siapakah diantara kamu sekalian yang terbaik amalannya.” (QS. Al-Mulk: 2)

Berkenaan dengan ayat ini; Fudhail bin Iyyadh pernah menyatakan:

# "Yang dimaksudkan dengan yang terbaik amalannya, adalah yang paling ikhlas dan paling benar."

Satu amalan yang dianggap pelakunya sudah ikhlas, bila tak mencocoki ajaran syari'at (benar), tak akan diterima. Demikian juga amalan yang benar sesuai ketentuan, namun tidak ikhlas karena Allah, juga tak ada gunanya. Ikhlas, artinya hanya untuk Allah. Benar, artinya menuruti Sunnah Rasul. (Lihat Al-Hilyah - oleh Abu Nu'aim: V111/59, Tafsir Al-Baghwi: 1V/369, Zadul Masir: 1V/79)

Satu amalan yang dilakukan dengan ikhlas, dengan sendirinya akan mudah meleburkan diri si hamba secara menyeluruh ke dalam ibadah itu sendiri. Karena tak satupun -menurut keyakinannya- yang pantas menguras perhatian dirinya selain Allah.

4. Mengkonsentrasikan Diri Hanya Untuk Allah
Dalam shahih Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

# "Seandainya seorang hamba (sesudah berwudhu dengan baik) tegak malakukan shalat, memuji Allah, menyanjung-Nya, mensucikan diri-Nya yang mana itu memang merupakan hak-Nya, mengkonsentrasikan diri hanya mengingat Allah; maka ia akan keluar dari shalatnya laksana bayi yang baru dilahirkan." (HR. Muslim: 832 dan Ahmad: IV / 112-385, dari hadits Amru bin Abasah)

Al-Imam Ibnu Katsir menyatakan:

# "Sesungguhnya kekhusyu’an dalam shalat itu hanya dapat dicapai oleh orang yang mengkonsentrasikan hatinya untuk shalat itu, disibukkan oleh shalat hingga tak mengurus yang lainnya; sehingga ia lebih mengutamakan shalat dari amalan yang lain."

5. Menghindari Berpalingnya Hati Dan Anggota Tubuh Dari Shalat
Aisyah pernah bertutur:

# "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang berpalingnya wajah di kala shalat, ke arah lain. Beliau menjawab: "Itu adalah hasil curian setan dari shalat seorang hamba." (HR. Bukhari: 571, Abu Dawud: 910, Tirmidzi: 589, An-Nasa'i: III/7 dan lain-lain)

Ath-Tayyibi menyatakan:

# "Dinamakan dengan "hasil curian", menunjukkan betapa buruknya perbuatan itu. karena orang yang shalat itu tengah menghadap Allah, namun setan mengintai dan menncuri kesempatan. Apabila ia lengah, setan langsung beraksi!

Imam Ash-Shan'ani menyatakan:

# "Sebab dimakruhkannya berpaling tanpa hajat di kala shalat, karena itu dapat mengurangi kekhusyu'an, dan dapat juga menyebabkan sebagian anggota badan berpaling dari kiblat. Juga karena shalat itu adalah menghadap Allah.” (Lihat Subulu As-Salam I/309-310)

6. Merenungi Setiap Gerakan Dan Dzikir-Dzikir Dalam Shalat
Firman Allah:

# “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24)

Imam Ibnul Qayyim pernah menyatakan:

# "Ada satu hal yang ajaib, yang dapat diperoleh oleh orang yang merenungi makna-makna Al-Qur'an. Yaitu keajaiban-keajaiban Asma dan Sifat Allah. Itu terjadi, tatkala orang tadi menuangkan segala curahan iman dalam hatinya, sehingga ia dapat memahami bahwa setiap Asma dan Sifat Allah itu memiliki tempat (bukan dibaca) di setiap gerakan shalat.
Artinya bersesuaian. Tatkala ia tegak berdiri, ia dapat menyadari ke-Maha Terjagaan Allah, dan apabila ia bertakbir, ia ingat akan ke-Maha Agung-an Allah.
" (Lihat Ash-Shalah karya Ibnu Qayyim)

Kata Imam Al-Ghazali dalam Al-Arba’ien:

# “Hendaklah kamu membaca ‘Allahu Akbar’ dengan mengingat bahwasanya tidak ada yang lebih besar daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala;

Hendaklah kamu membaca ‘wajjahtu wajhiya …,’ dengan perasaan bahwa kamu benar-benar menghadapkan jiwamu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpaling dari selainNya;

Hendaklah kamu membaca ‘AlhamdulilLah’, dengan ‘penuh rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segala nikmat-nikmatNya;

Hendaklah kamu membaca ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’ien’, dengan perasaan bahwa ‘kamu sangat lemah dan bahwa segala urusan itu hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata;

Dan hendaklah di tiap-tiap kamu membaca dzikir, kamu ingat makna-maknanya. Dan ketahuilah, bahwa segala yang membimbangkan kamu dari memahamkan makna apa yang kamu baca dipandang was-was


7. Memelihara Thuma'ninah (Ketenangan), Dan Tidak Terburu-buru Dalam Shalat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

# "Dan apabila kamu sudah tenang, maka dirikanlah shalat..." (QS. An-Nisa': 103)

Ayat di atas jelas mengisyaratkan bahwa ketenangan, adalah faktor vital dalam shalat yang harus diperhatikan. Sehingga "keharusan" shalat bagi seorang mukmin di saat-saat berperang dengan orang-orang kafir, dilakukan kala ia sudah kembali tenang.

Hal ini juga terpahami jelas dari hadits tentang "Shalat orang yang asal-asalan", yang lalu dikoreksi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan orang itu disuruh mengulangi shalatnya dengan sabda beliau, yang artinya:

# "...dan ruku'lah sehingga kamu thuma’ninah dalam ruku' itu, lalu tegaklah berdiri sampai kamu thuma’ninah dalam berdiri...dst." (HR. Bukhari: 757, 793, 6251 dan lain-lain, Muslim: 397, Abu Dawud: 956 dan yang lainnya)

8. Semangat Dalam Melakukannya
Ini satu hal yang lumrah. Karena tatkala seseorang shalat dengan seenaknya, malas dan tidak bersemangat; jelas tak akan dapat diharapkan kekhusyu'annya.. Oleh sebab itu, dalam hadits yang diceritakan Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki masjid. Tiba-tiba beliau melihat ada tali yang direntangkan antara dua tiang masjid tersebut. Beliau lantas bertanya:

# "Untuk apa tali ini?" Para, sahabat menjawab: "Itu punyanya Zainab. Kalau dia lagi lemas waktu shalat, itu dijadikan tempat berpegangan." maka beliau bersabda: "Lepaskan tali itu. Setiap kamu itu hendaknya shalat dengan bersemangat. Kalau dia memang merasa capek, ya istirahat dulu." (HR. Bukhari: 1150, Muslim: 784 dan lain-lain)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,

# "Apabila salah seorang di antara kamu mengantuk, sedangkan ia tengah melalukan shalat; hendaknya ia tidur terlebih dahulu sehingga hilang rasa mengantuknya. Karena kalau ia shalat terus, jangan-jangan, ia ingin beristighfar malah mencaci dirinya sendiri." (HR. Bukhari: 212, Muslim: 786, Abu Dawud: 1310, At-Tirmidzi: 388, An-Nasa’i: 11215-216, Ibnu Majah: 1370, Ahmad: VI/56, 202, 259, Ad-Darimi: 1373 dan Malik dalam Al-Muwattha': 31/118, dari hadits Aisyah)

Berkenaan dengan hal itu, Imam An-Nawawi pernah menyatakan:

# "Hadilts tersebut mengandung anjuran agar seorang hamba itu shalat dengan konsentrasi penuh, khusyu', terfokus fikirannya kepada Allah dan dengan semangat. Hadits tersebut juga menyuruh orang yang mengantuk selagi shalat itu untuk tidur dulu, atau melakukan hal lain yang dapat menghilangkan rasa kantuknya." (Lihat Syarhu An-Nawawi VI/74)

Dalam hal ini, nampak sekali kesalahan sebagian kaum Muslimin yang menganggap shalat yang khusyu' itu cenderung harus dilakukan dengan lemah gemulai dan tak bertenaga. Kalau kita tilik kembali tata cara shalat yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan kita dapati bahwa seluruh gerakan shalat secara kolektif ternyata harus dilakukan dengan bersemangat, bukan dengan melemas-lemaskan tubuh.

Ambil contoh, misalnya: ruku'. Di saat melakukan ruku', orang yang shalat diperintahkan untuk meluruskan punggung. Namun disamping itu ia juga diperintahkan untuk membengkokkan sedikit kedua tangannva. Konsekuensinya, ia harus melakukan gerakan itu dengan perhatian penuh.

Contoh lain, kala bersujud. Di saat bersujud, seorang mukmin harus meluruskan punggungnya, meluruskan pahanva, meletakkan dengan tepat tujuh anggota sujud, menekankan kening ke bumi, bertumpu pada kedua belah telapak tangan, merapatkan kedua telapak kaki, mengarahkan dengan penuh jari-jari kaki ke arah kiblat, merenggangkan kedua lengan, menjauhkan perut dengan bumi; di samping juga berdzikir, memanjangkan sujud dan lain-lain. Semuanya itu, tak syak lagi, hanya bisa dilakukan dengan penuh perhatian dan semangat yang tinggi.

9. Memilih Tempat Shalat Yang Sesuai
Artinya yang memenuhi syarat agar bisa membuat shalat kita menjadi khusyu’. Tempat tadi paling tidak harus memenuhi beberapa kriteria berikut:

a) Tenang, dan jauh dari keributan yang ditimbulkan -mungkin- oleh penuh sesaknya orang-orang yang shalat, sehingga membikin suara yang mangganggu. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah marah ketika dalam shalat beliau mendengar suara ribut di belakangnya.

b) Hadirnya para malaikat. Artinya, kita menghindari hal-hal/sesuatu yang menghalangi malaikat (rahmat) untuk memasuki tempat kita menunaikan shalat, misalnya, lukisan benda bernyawa, atau anjing. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

# "Para malaikat tidak akan memasuki satu rumah yang di dalamnya ada lukisan benda bernyawa, atau anjing." (HR. Bukhari: 4225, 3322, 4002. 5949, Muslim: 2106, Tirmidzi: 2804, An-Nasa'i: 7/185-186, dan yang lainnya)


Imam A1-Khitabi menjelaskan:

# "Yang dimaksud di situ adalah para malaikat yang datang membawa rahmat dan berkah, bukan para malaikat yang mencatat amalan seorang hamba. Karena mereka (yang kedua) itu tak pernah berpisah dengan manusia.” (Lihat "Hasyiah As-Sindi 'Ala Ibnu Majah": 11/386)

Di antaranya lagi suara-suara musik. Juga termasuk di antaranya suara bell lonceng. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

# "Sesungguhnya lonceng itu adalah seruling-seruling setan." (HR. Muslim: 2114, An-Nasa'i dalam As-Sunan Al-Kubra: 8812, Abu Dawud: 2556, Ahmad dalam Musnadnya: 11/366-3720, Al-Baihaqi dalam "As-Sunan Al-Kubra": 5/253)

10. Menghindari Segala Sesuatu Yang Menyibukkan Dan Mengganggu Shalat
Termasuk dalam lingkaran larangan itu, shalat di kala makanan sudah dihidangkan; atau shalat di kala sedang menahan buang air kecil atau besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

# “Janganlah salah seorang di antara kamu shalat, kala makanan dihidangkan, atau kala menahan buang air." (HR. Muslim: 560, Ibnu Hibban: 195 dan Al-Baghwi dalam "Syarhu As-Sunnah": 801)

Diriwayatkan dalam hadits al-Bukhari dan Muslim: 558, bahwasanya Ibnu Umar pernah dihidangi makanan; saat itu adzan berkumandang, namun beliau terus saja makan sampai selesai. Padahal beliau sudah mendengar suara bacaan imam. Di antaranya yang lain: shalat di bawah terik matahari. Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda, yang artinya:

# "Apabila matahari bersinar terik panas sekali, tundalah waktu shalat hingga cuaca dingin. Karena sesungguhnya panas yang terik itu berasal dari uap Narr Jahannam."

Yang lainnya lagi: memandang {ketika shalat) sesuatu yang merusak konsentrasi. Dari Anas diceritakan, bahwa Aisyah memiliki kain korden berhias yang menutupi sebagian tembok rumahnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

# "Singkirkan korden itu. Sesungguhnya gambar-gambarnya terus terbayang dalam diriku di waktu shalat." (HR. Bukhari: 374 dan Ahmad: III/151 - 283)

Imam Ash-Shan'ani berkomentar:

# "Sesungguhnya hadits itu mengandung larangan terhadap segala hal yang dapat mengganggu shalat. Baik itu ukiran-ukiran, hiasan-hiasan dan lain-lain.

11. Memanjangkan Bacaan
Memanjangkan bacaan surat dalam shalat, seringkali membantu proses kekhusyu'an, terutama bagi yang mengerti kandungan makna bacaan itu, atau bagi orang yang dianugerahi Allah kelembutan jiwa.

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya:
"Shalat bagaimana yang paling utama?" Beliau menjawab: "Yang panjang qunut/kekhusyu'an nya." (HR. Muslim: 756, Tirmidzi: 387, Ibnu Majah: 1421 dan Al-Baghwi dalam Syarhu As Sunnnah: 559-560)

Imam Ibnul ‘Arabi menyatakan:

# "Aku mencoba menyelidiki sumber-sumber kekhusyu'an; lalu kudapati ada sepuluh perkara:
Ketaa'atan, ibadah, kesinambungan melakukan amal shalih, shalat, bangun malam; berdiri panjang (dalam shalat), berdo’a, ketundukan, diam tenang, dan tidak menoleh-noleh. Kesemuanya adalah alternatif yang saling terkait. Namun yang paling berpengaruh adalah: ketundukan, berdiam diri dan bangun malam.
" (Lihat "Al-'Aridhah")

12. Shalat Seperti Shalatnya Orang Yang Akan Bepergian Jauh (Meninggalkan Alam Fana)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menegaskan:

# "Apabila engkau melakukan shalat, maka shalatlah kamu, dengan shalatnya orang yang akan meninggalkan alam fana... " (HR. Ibnu Majah: 4171, Ahmad: 5/412 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam "Shahih Aljami' Ash-Shaghir": 1/265)

Maksudnya adalah, agar kita shalat dengan shalatnya orang yang rindu untuk berjumpa Allah. Bukan shalatnya orang yang gila dunia, yang menjadikan dunia dan segala kesibukannya sebagai bayangan yang selalu terukir dalam benak.

Masih ada lagi beberapa kiat khusyu' lainnya, dalam shalat. Cukup dikutip sebagian di antaranya; sekedar untuk memacu diri kita agar memperbaiki kualitas shalat kita. Menghiasi dan menyempurnakannya dengan kekhusyu'an; sehingga pada akhirnya, akan menjadikan kita sebagai mukmin yang penuh keberuntungan, dunia dan akhirat. Lalu, kita berdo’a kepada Allah agar kita dijauhkan dari mereka yang disebutkan dalam firman Allah:

# "Maka sungguh satu kecelakaan yang besar bagi meraka yang telah mambatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata." (QS. Az-Zumar: 22)



DAFTAR RUJUKAN


1. 379 Petuah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Seputar Masalah Sholat, Syamsul Rijal Hamid, Mutiara Pustaka, Jakarta, Cetakan ke-2

2. 40 Manfaat Shalat Berjama’ah, Abu Abdullah Musnid Al-Qahtani,
Darul Haq, Jakarta, Cetakan Ke-2, Terjemahan dari Kitab Arba’uunan Faa’idatan Min Fawaa’idi Shalaatil Jama’ah.

3. 44 Kesalahan Orang Shalat, Syaikh Muhammad Bayumi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Cetakan Pertama, Terjemahan Kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim.

4. Ilmu Mushthalah Hadits, Drs. Moh. Anwar Bc. Hk, Al-Ikhlas, Surabaya.

5. Keluasan Tata Cara Shalat Menurut Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam , Ahmad Zubaidi, Al-Mawardi Prima, Jakarta, Cetakan Pertama.

6. Kiat Khusyu’ Dalam Shalat, Fauzan Ahmad Az-Zumari, Darul Basyair Al-Islamiyah, Beirut, Libanon, Terjemahan Kitab Kaifa Naksya’u fi Ash-Shalah.

7. Pedoman Shalat, Prof. Dr. T. Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, PT. Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan ke-22.

8. Shalat Jama’ah [Dalam Tinjauan Nash dan Sirah Salafush-Shalih], Dr. Fadhl Ilahi, Najla Press, Jakarta, Cetakan Pertama, Terjemahan Kitab Ahammiyatu Shalati Al Jama’ah fi Dhaui An-Nushush wasairi Ash-Shalihin.

9. Sifat Ibadah Nabi, Saefulloh Muhammad Satori, Pustaka Amanah, Jakarta, Cetakan Pertama.

10. Sifat Shalat Nabi, Muhammad Nashruddin Al-Albani, Media Hidayah, Yogyakarta, Cetakan Pertama Edisi Revisi, Terjemahan dari Kitab Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallama min At-Takbiiri ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa.

11. Shalatnya Orang-Orang Khusu’ Disertai Dengan Doa-Doa, Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Najla Press, Jakarta, Cetakan Pertama, Terjemahan Kitab Shalah Al Khasyi’in

12. http://www.syariahonline.com/

Badan Pelaksana:
Ketua Umum : Dr. Salim Segaf Al-Jufri, MA
Ketua Pelaksana : Dr. Surahman Hidayat, MA
Sekretaris : H. Bukhori Yusuf, MA
Bendahara : Salmin Dja'far

Konsultan Ahli:
Dr. Salim Segaf al-Jufri MA
Dr. Surahman Hidayat, MA
Dr. Daud Rasyid, MA
Dr. Mushlih Abd Kariem, MA
KH Yusuf Supendi, Lc
KH Dr. H. Ahzami Samin Jazuli, MA
H. Bukhori Yusuf, MA.
H. Abdurraqieb, Lc
H. Tajuddien Nur, Lc
Ustd. Iman Santoso, Lc

13. http://sholatkita.cjb.net/

Penyusun:
Abu Husain Abdul Wahhab
Abu Hasna Abdul Aziiz Al Jawasi
Abu Mukaffi AM Al-Jawi Al-Atsari

Muraja'ah:
Ustadz Abu Abdillah Muhamad Elvi bin Syamsi


Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan

Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan
a) Pembesar Negara & Tuan Rumah
Imam bagi pembesar-pembesar negara (apabila shalat bersama-sama mereka) & tuan rumah (kecuali jika ia idzinkan yang lain sebagai imam).

# Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Janganlah seseorang mengimami seseorang di dalam rumah tangga orang yang di imami itu dan di dalam pemerintahannya.” (HR. Muslim, hadits shahih)

b) Kaum Yang Tidak Menyukai Kita
Janganlah mengimami suatu kaum yang tidak menyukai kita.

# Dari Abu Amir Ibnu Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Janganlah engkau mengimami suatu kaum, sedangkan mereka membencimu.” (HR. Abu Dawud).

H. ATURAN SHAF/BARISAN DALAM SHALAT BERJAMA’AH
Barisan shalat itu diatur berdasarkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan semata-mata pendekatan kehematan tempat shalat. Sebab shalat itu adalah sebuah bentuk ibadah ritual yang aturan serta ketentuannya tidak didasarkan semata-mata kepada pendekatan logika. Melainkan pendekatan sebuah ritus dan hal-hal yang bersifat sakral.

Dan satu-satunya acuan yang boleh dijadikan referensi dalam aturan shalat adalah praktek shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah pembawa risalah dari Allah Subhanahu wa Ta`ala dan menjadi teladan dalam segala masalah. Terutama dalam masalah ritual seperti shalat berjama’ah.

Beliau telah memberi petunjuk tentang bagaimana susunan barisan dalam shalat jama’ah. Intinya, posisi jama’ah shalat wanita itu di bagian belakang laki-laki. Tidak sejajar apalagi di depannya. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang. Sedangkan sebaik-baik shaf laki-laki adalah bagian terdepannya. Di tengah-tengah antara shaf laki-laki dan wanita adalah barisan anak-anak. Namun bila anak itu hanya satu saja, maka dia masuk ke dalam shaf laki-laki.

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa shaf laki-laki di depan shaf anak-anak. Dan shaf anak-anak di belakang shaf laki-laki. Sedangkan shaf wanita di belakang shaf anak-anak. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

# Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan seburuk-buruknya adalah yang paling belakang. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang dan seburuk-buruknya adalah yang paling depan.” (HR. Muslim Abu Dawud, Tirmizy, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

# Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu anhu,
… Beliau letakkan orang laki-laki di depan anak-anak, sedang anak-anak di belakang mereka, di belakang anak-anak barulah orang-orang wanita (HR. Ahmad)

Jika pintu masuk masjid hanya ada di bagian belakang saja, maka bisa dibuatkan jalan khusus bagi wanita dan bahkan bisa juga dibuatkan dinding yang membatasi jalan masuk jama’ah laki-laki, entah dengan penyekat atau pembatas lainnya.



Setiap makmum yang datang untuk shalat berjama’ah, maka dilarang untuk membuat shaf baru kecuali dengan aturan yang sudah jelas. Sebenarnya untuk mengisi shaf shalat itu mula-mula adalah disamping kanan imam, yakni bila makmumnya hanya satu orang saja. Lalu bila nanti datang lagi satu orang, maka dia berdiri di sebelah kiri makmum pertama dan imam bergeser ke depan, sehingga berdiri tepat di depan keduanya.

Tapi bila sejak awal sudah ada sekian banyak makmum, maka makmum pertama berdiri tepat di belakang imam. Bila nanti ada yang datang lagi, maka makmum yang kedua ini berdiri di sebelah kanan makmum yang pertama. Dan bila ada yang ketiga, maka di berdiri di samping kiri makmum pertama.

Bila ada yang datang lagi, maka berdiri di samping kanan makmum kedua dan bila ada yang datang lagi maka berdiri di samping kiri makmum ketiga.

Barisan shalat yang terbaik adalah yang terdepan. Dan yang paling utama dari sebuah shaf adalah pada bagian tengah atau tepat di belakang imam. Sebab dari tengah-tengah shaf itulah barisan mulai dibentuk. Kemudian di sebelah kanannya, lalu di sebelah kirinya, lalu di sebelah kanannya lagi lalu di sebelah kirinya lagi dan begitu seterusnya.
Semakin jauh dari tengah-tengah menunjukkan semakin terbelakangnya seseorang dalam bergabung dengan jama’ah shalat.
Untuk jelasnya, kami beri nomor saja para makmum itu berdasarkan urutan datangnya seperti di bawah ini agar lebih jelas.


Dan bila telah mulai shalat, maka setiap makmum yang datang, wajib untuk membuat shaf yang baru sesuai urutan di atas dan tidak memotong barisan sehingga tidak tersambung.

I. TABIR ANTARA TEMPAT LAKI-LAKI DENGAN TEMPAT WANITA
Para ulama berbeda pandangan tentang kewajiban memasang tabir antara tempat lak-laki dengan tempat wanita. Yang disepakati adalah bahwa para wanita wajib menutup aurat dan berpakaian sesuai dengan ketentuan syariat. Juga sepakat bahwa tidak boleh terjadi ikhtilat (campur baur) antara laki dan wanita. Serta haramnya khalwah atau berduaan menyepi antara laki-laki dan wanita.

Sedangkan kewajiban untuk memasang kain tabir penutup antara ruangan laki-laki dan wanita, sebagian ulama mewajibkannya dan sebagian lainnya tidak mewajibkannya.

1. Pendapat Pertama: Mewajibkan Tabir
Mereka yang mewajibkan harus dipasangnya kain tabir penutup ruangan berangkat dari dalil baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

a) Dalil Al-Qur’an
# “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu, dan Allah tidak malu kepada yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 53)

Ayat tersebut menyatakan bahwa memasang kain tabir penutup meski perintahnya hanya untuk para isteri Nabi, tapi berlaku juga hukumnya untuk semua wanita. Karena pada dasarnya para wanita harus menjadikan para istri Nabi itu menjadi teladan dalam amaliyah sehari-hari. Sehingga kihtab ini tidak hanya berlaku bagi istri-istri Nabi saja tetapi juga semua wanita mukminat.

b) Dalil As-Sunnah
# Diriwayatkan oleh Nabhan bekas hamba Ummu Salamah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ummu Salamah dan Maimunah yang waktu itu Ibnu Ummi Maktum masuk ke rumahnya. Nabi bersabda:
"Pakailah tabir." Kemudian kedua isteri Nabi itu berkata: "Dia (Ibnu Ummi Maktum) itu buta!" Maka jawab Nabi: "Apakah kalau dia buta, kamu juga buta? Bukankah kamu berdua melihatnya?"

2. Pendapat Kedua: Tidak Mewajibkan Tabir
Oleh mereka yang mengatakan bahwa tabir penutup ruangan yang memisahkan ruangan laki-laki dan wanita itu tidak merupakan kewajiban, kedua dalil di atas dijawab dengan argumen berikut :

a) Dalil Al-Qur’an
Sebagian ulama mengatakan bahwa kewajiban memasang kain tabir itu berlaku hanya untuk pada istri Nabi, sebagaimana zahir firman Allah dalam surat Al-Ahzab: 53.
Hal itu diperintahkan hanya kepada istri nabi saja karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka serta rasa hormat terhadap para ibu mukminin itu. Sedangkan terhadap wanita mukminah umumnya, tidak menjadi kewajiban harus memasang kain tabir penutup ruangan yang memisahkan ruang untuk laki-laki dan wanita.
Dan bila mengacu pada asbabun nuzul ayat tersebut, memang kelihatannya memang diperuntukkan kepada para istri nabi saja.

b) Dalil As-Sunnah
Kalangan ahli tahqiq (orang-orang yang ahli dalam penyelidikannya terhadap suatu hadits/pendapat) mengatakan bahwa hadits Ibnu Ummi Maktum itu merupakan hadits yang tidak sah menurut ahli-ahli hadits, karena Nabhan yang meriwayatkan Hadits ini salah seorang yang omongannya tidak dapat diterima.

Kalau ditakdirkan hadits ini sahih, adalah sikap kerasnya Nabi kepada isteri-isterinya karena kemuliaan mereka, sebagaimana beliau bersikap keras dalam persoalan hijab.

c) Dalil Lainnya
1) Istri Yang Melayani Tamu-Tamu Suaminya
Banyak ulama yang mengatakan bahwa seorang isteri boleh melayani tamu-tamu suaminya di hadapan suami, asal dia melakukan tata kesopanan Islam, baik dalam segi berpakaiannya, berhiasnya, berbicaranya dan berjalannya. Sebab secara wajar mereka ingin melihat dia dan dia pun ingin melihat mereka. Oleh karena itu tidak berdosa untuk berbuat seperti itu apabila diyakinkan tidak terjadi fitnah suatu apapun baik dari pihak isteri maupun dari pihak tamu.

# Sahal bin Saad al-Anshari berkata sebagai berikut:
"Ketika Abu Asid as-Saidi menjadi pengantin, dia mengundang Nabi dan sahabat-sahabatnya, sedang tidak ada yang membuat makanan dan yang menghidangkannya kepada mereka itu kecuali isterinya sendiri, dia menghancurkan (menumbuk) korma dalam suatu tempat yang dibuat dari batu sejak malam hari. Maka setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai makan, dia sendiri yang berkemas dan memberinya minum dan menyerahkan minuman itu kepada Nabi." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dari hadits ini, Syaikhul Islam Ibnu Hajar berpendapat: "Seorang wanita boleh melayani suaminya sendiri bersama orang laki-laki yang diundangnya ..."

Tetapi tidak diragukan lagi, bahwa hal ini apabila aman dari segala fitnah serta dijaganya hal-hal yang wajib, seperti hijab. Begitu juga sebaliknya, seorang suami boleh melayani isterinya dan wanita-wanita yang diundang oleh isterinya itu. Dan apabila seorang wanita itu tidak menjaga kewajiban-kewajibannya, misalnya soal hijab, seperti kebanyakan wanita dewasa ini, maka tampaknya (terlihatnya) seorang wanita kepada laki-laki lain menjadi haram.

2) Masjid Nabawi Di Zaman Rasulullah
Pandangan tidak wajibnya tabir didukung pada kenyataan bahwa masjid Nabawi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup pun tidak memasang kain tabir penutup yang memisahkan antara ruangan laki-laki dan wanita. Bahkan sebelumnya, mereka keluar masuk dari pintu yang sama, namun setelah jumlah mereka semakin hari semakin banyak, akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan satu pintu khusus untuk para wanita.

Hanya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan posisi shalat laki-laki dan wanita, yaitu laki-laki di depan dan wanita di belakang.

J. MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAF DALAM SHALAT BERJAMA’AH
Di antara syari'at yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya adalah meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat berjama’ah. Barangsiapa yang melaksanakan syari'at, petunjuk dan ajaran-ajarannya dalam meluruskan dan merapatkan shaf, sungguh dia telah menunjukkan ittiba' nya [mengikuti] dan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

# Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Apakah kalian tidak berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat di sisi Rabb mereka?" Maka kami berkata: "Wahai Rasulullah, bagaimana berbarisnya malaikat di sisi Rabb mereka?" Beliau menjawab: "Mereka menyempurnakan barisan-barisan [shaf-shaf], yang pertama kemudian [shaf] yang berikutnya, dan mereka merapatkan barisan" (HR. Muslim, An Nasa'i dan Ibnu Khuzaimah).

# Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa yang menutup kekosongan, Allah akan mengangkat derajatnya dengan hal tersebut dan akan dibangunkan sebuah istana di surga untuknya” (HR. Abu Dawud/Shahih At-Targhieb Wat Tarhieb No. 502)

# Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
Buatlah shaf-shaf, karena sesungguhnya kalian berbaris sebagaimana barisannya para malaikat. Dan sejajarkan di antara bahu-bahu, isilah kekosongan, dan hendaklah kalian memberikan kesempatan orang lain untuk ikut masuk dalam shaf, dan janganlah kalian meninggalkan celah-celah untuk syaitan, barangsiapa yang menyambungkan shaf maka Allah akan menyambungkannya. Dan barangsiapa yang memutuskan shaf maka Allah akan memutuskannya” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i/Shahih At-Targhieb Wat-Tarhieb No. 492)

# Dari An Nu'man bin Basyir, ia berkata,
Dahulu Rasullullah meluruskan shaf kami sampai seperti meluruskan anak panah hingga beliau memandang kami telah paham apa yang beliau perintahkan kepada kami (sampai shaf kami telah rapi-pent), kemudian suatu hari beliau keluar (untuk shalat) kemudian beliau berdiri, hingga ketika beliau akan bertakbir, beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya, maka beliau bersabda: "Wahai para hamba Allah, sungguh kalian benar-benar meluruskan shaf atau Allah akan memperselisihkan wajah-wajah kalian". (HR. Muslim)

# Dari Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tegakkan [luruskan dan rapatkan, pent-] shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari balik punggungku." (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Anas radhiyallahu anhu, ia berkata,
"Dan salah satu dari kami menempelkan bahunya pada bahu temannya dan kakinya pada kaki temannya." (HR. Bukhari)

# Dari Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolehkan wajahnya ke belakang ke arah kami sebelum takbiratul ihram, sembari berkata,
Perbaiki shafmu dan luruskanlah” (HR. Ahmad, hadits hasan)

# Dari Anas radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mukanya menoleh kepada manusia, lalu bersabda,
Berdirilah secara bershaf-shaf niscaya Allah mengokohkan barisan-barisanmu (persatuan di kalangan umat Islam), atau jika tidak maka Allah akan menjadikan hati-hatimu saling berselisih. Lalu Rasulullah melanjutkan sabdanya: Aku melihat seorang lelaki di antara kami menempelkan bahunya ke bahu temannya dan mata kakinya ke mata kaki temannya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan Daruqutni, hadits shahih)

# Sebagian sahabat berkata,
Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah berdiri di tempatnya untuk shalat, tidaklah terus beliau bertakbir, sebelum beliau melihat ke kanan dan ke kiri menyuruh manusia menjajarkan bahu mereka seraya bersabda: janganlah kamu maju mundur (tidak lurus), yang menyebabkan maju mundurnya jiwa-jiwa kamu” (HR. Ahmad)

Dari hadits-hadits di atas menunjukkan betapa pentingnya meluruskan dan merapatkan shaf pada waktu shalat berjama’ah karena hal tersebut termasuk kesempurnaan shalat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

# "Luruskan shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat." (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dari Anas bin Malik)

Berkata Syeikh Masyhur Hasan Salman: "Apabila jama’ah shalat tidak melaksanakan sebagaimana yang dilakukan oleh Anas dan An Nu'man maka akan selalu ada celah dan ketidaksempurnaan dalam shaf. Dan pada kenyataannya -kebanyakan- para jama’ah shalat apabila mereka merapatkan shaf maka akan luaslah shaf [menampung banyak jama’ah, pent-] khususnya shaf pertama kemudian yang kedua dan yang ketiga. Apabila mereka tidak melakukannya, maka:

Pertama: Mereka terjerumus dalam larangan syar'i, yaitu tidak meluruskan dan merapatkan shaf.

Kedua: Mereka meninggalkan celah untuk syaithan dan Allah akan memutuskan mereka, sebagaimana hadits dari Umar bin Al Khaththab bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

# "Tegakkan shaf-shaf kalian dan rapatkan bahu-bahu kalian dan tutuplah celah-celah dan jangan kalian tinggalkan celah untuk syaithan, barangsiapa yang menyambung shaf niscaya Allah akan menyambungnya dan barangsiapa memutus shaf niscaya Allah akan memutuskannya". (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim)

Ketiga: Terjadi perselisihan dalam hati-hati mereka dan timbul banyak pertentangan di antara mereka, sebagaimana dalam hadits An Nu'man terdapat faedah yang menjadi terkenal dalam ilmu jiwa, yaitu: sesungguhnya rusaknya dhahir mempengaruhi rusaknya batin dan kebalikannya. Disamping itu bahwa sunnah meluruskan dan merapatkan shaf menunjukkan rasa persaudaraan dan saling tolong-menolong, sehingga bahu si miskin menempel dengan bahu si kaya dan kaki orang lemah merapat dengan kaki orang kuat, semuanya dalam satu barisan seperti bangunan yang kuat, saling menopang satu sama lainnya.

Keempat: Mereka kehilangan pahala yang besar yang dikhabarkan dalam hadits-hadits yang shahih, di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

# "Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya bershalawat kepada orang yang menyambung shaf." (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hiban dan Ibnu Khuzaimah)

# Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih:
"Barangsiapa menyambung shaf niscaya Allah akan menyambungnya." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

# Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling lembut bahunya (mau untuk ditempeli bahu saudaranya -pent) ketika shalat, dan tidak ada langkah yang lebih besar pahalanya daripada langkah yang dilakukan seseorang menuju celah pada shaf dan menutupinya." (HR. Ath-Thabrani, Al Bazzar dan Ibnu Hiban)

Kelurusan dan kerapatan shaf dalam shalat jama’ah merupakan bagian dari kesempurnaan shalat. Karena itu seorang imam disunnahkan untuk ikut mengatur dan merapatkan barisan shalat jama’ahnya sebelum mulai shalat.

K. KEUTAMAAN SHAF PERTAMA DAN SHAF KEDUA
# “Kalaulah manusia mengetahui apa yang terdapat di adzan dan shaf pertama (dari besarnya pahala-pent) kemudian mereka tidak mendapatkan kecuali dengan diundi, maka pastilah mereka telah mengadakan undian, dan kalaulah mereka mengetahui apa yang terdapat di sikap selalu didepan, pastilah mereka telah mendahuluinya, dan kalaulah mereka mereka mengetahui apa yang terdapat di shalat Isya dan shalat Shubuh (dari keuntungan) maka pastilah mereka mendatangi keduanya walaupun dengan merayab.” (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Al-Bara’, ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya mengucapkan shalawat untuk orang-orang yang di shaf pertama dan di shaf-shaf yang pertama.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)

# Dari Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu,
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bershalawat kepada shaf pertama tiga kali dan kepada shaf kedua satu kali.” (HR. An-Nasa’i)

# “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk shaf pertama tiga kali dan untuk shaf kedua satu kali.” (HR. Ibnu Majah)

L. MAKMUM YANG TIDAK MASUK KE DALAM SHAF
Umumnya makmum yang tidak masuk ke dalam shaf adalah makmum yang datang terlambat ke masjid, sedangkan shalat telah dimulai.
Ada 2 kondisi yang menyebabkan tidak masuknya makmum yang terlambat ini ke dalam shaf, yaitu:

Pertama, shaf-shaf shalat jama’ah belum sempurna (belum penuh) tetapi dia enggan masuk/bergabung dengan shaf tersebut, malahan membentuk shaf baru walaupun dia hanya sendirian.

# Dari Wabishah bin Ma’bid, ia berkata:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang sebenarnya bisa masuk ke dalam shaf –akan tetapi ia tidak melakukan itu, dan berdiri sendiri- untuk mengulang shalatnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ath-Thayalisi, Al-Baihaqi dan Inu Hazm, hadits shahih)

Kedua, shaf-shaf shalat jama’ah telah sempurna, maka lazimnya, dia akan melakukan salah satu dari 5 hal berikut:

1. Menjauh dari shaf dan shalat sendirian.
2. Menarik seseorang dari shaf dan shalat bersamanya di dalam shaf baru.
3. Maju mendekati imam dan shalat di sampingnya.
4. Menunggu sambil berdiri, atau
5. Shalat sendirian dalam shaf baru, di belakang shaf lama.

Ad1) Jika dia memisahkan diri dan shalat sendiri, maka berarti dia tidak akan mendapatkan pahala tempat maupun perbuatan berjama’ah.

Ad2) Jika dia menarik seseorang dari shaf kemudian shalat bersamanya, ada beberapa kendala; Pertama, dia telah memindahkan orang ini dari posisinya yang utama ke posisi yang tidak utama. Kedua, dia telah mengganggu shalat orang tersebut. Ketiga, dia telah membuka celah dalam shaf. Keempat, dia telah menyebabkan semua orang yang berada dalam shaf bergerak. Karena biasanya jika ada celah dalam shaf, maka mereka bergerak saling merapatkan shaf. Dengan demikian, hal ini –atau menarik mundur seseorang dalam shaf- tidak disyariatkan.

Ad3) Jika dia maju ke depan mendekati imam, ada dua kendala; Pertama, dia telah mengganggu orang-orang yang sedang shalat dengan melangkahi bahu-bahu mereka, jika terdapat beberapa shaf. Kedua, jika dia datang dari pintu depan dan berdiri sejajar imam, maka hal tersebut bertentangan dengan sunnah imam berdiri sendiri di tempatnya. Dan hal itu juga merupakan kendala ketiga, yaitu bahwa imam disunnahkan berdiri sendiri, jika makmumnya lebih dari dua orang.

Ad4) Jika dia menunggu sampai ada yang dating, maka belum tentu ada yang datang, ini tidak pasti.

Ad5) Jika dia bergabung bersama jama’ah dan terpisah tempatnya (berdiri di belakang shaf), tetapi perbuatannya tetap berjama’ah. Dan bisa berjama’ah dalam perbuatan, lebih baik daripada tidak berjama’ah sama sekali. Karena itu, pendapat ini dipilih oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

M. POSISI MAKMUM DALAM SHALAT BERJAMA’AH
Dalam kitab Syarh Al-Muhadzab, Imam An-Nawawi mengharamkan seorang makmum untuk mendahului imamnya. Sedangkan sebagian jumhur ulama menganggap bahwa makmum tersebut telah melakukan dosa, sekalipun shalatnya sah. Sedangkan Ibnu Umar, salah satu pengikut pendapat Imam Ahmad dan ahli dzahir menganggap bahwa shalat makmum tersebut batal, karena larangan itu sendiri telah menunjukkan bahwa shalat tersebut tidak sah.

Dan dalam kitab Al-Mughni, Imam Ahmad mengatakan bahwa berdasarkan pada hadits di atas, maka shalat makmum yang mendahului imamnya tidak sah.

# Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Bahwasanya dijadikan imam adalah untuk di ikuti, karena itu apabila imam telah bertakbir, maka bertakbirlah kamu dan apabila imam telah mengangkat kepalanya maka angkatlah kepalamu, dan apabila imam shalat dengan duduk, maka shalatlah kamu dengan duduk pula.” (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Aku adalah imammu, karena itu janganlah kamu mendahului aku dengan ruku’, dengan sujud, dengan berdiri, dengan berpaling (salam), karena sebenarnya aku melihat kamu dari mukaku dan dari belakangku. Kemudian Nabi berkata: Demi Tuhan yang jiwaku di tanganNya, sekiranya kamu melihat apa yang aku lihat, tentulah kamu akan tertawa sedikit dan menangis banyak.” (HR. Muslim, shahih).

# Dari Anas bin Malik, ia berkata: Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama kami. Ketika beliau selesai melaksanakan shalat, beliau memalingkan wajahnya ke arah kami, kemudian beliau bersabda,
Wahai manusia, aku adalah pemimpin kalian, maka kalian jangan mendahuluiku baik dalam ruku’, sujud, berdiri, ataupun meninggalkan tempat shalat. Karena sesungguhnya aku melihat kalian di depanku dan di belakangku.” (HR. Muslim)

# Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Orang yang mengangkat kepalanya (dalam shalat) sebelum imam, maka Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala keledai.” (HR. Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

# Pada riwayat lain dikatakan,
Maka Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala anjing.” (HR. Muslim)

# Dari Abdullah bin Yazid, Al-Barra berbicara kepadaku,
… Apabila kami yakin beliau telah bersujud, barulah kami bersujud setelahnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)

Imam Al-Jauzi memberikan penjelasan bahwa, seorang makmum tidak diperbolehkan untuk ruku’ sampai imamnya melakukan ruku’ secara sempurna. Kemudian ia melanjutkan, “Akan tetapi jangan sampai tertinggal oleh imam. Tegasnya, setelah imam ruku’, seorang makmum harus cepat mengikutinya sebelum imam tersebut mengangkat kepalanya.”

Seorang makmum, selain tidak diperbolehkan untuk mendahului imam dalam ruku’, sujud dan gerakan lain dalam shalat, ia juga tidak diperbolehkan ketinggalan dalam mengikuti gerakan imamnya.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Seorang makmum dalam shalat akan berada pada empat kondisi:

1. Mendahului (al-Musabaqah)
Adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang makmum sebelum dilakukan oleh imamnya. Dan perbuatan ini diharamkan. Apabila seorang makmum mendahului imam dalam takbiratul ihram, maka shalatnya tidak sah. Sehingga secara tidak langsung ia harus mengulangi kembali shalatnya dari awal.

2. Berbarengan (al-Muwafaqah)
Adalah suatu bentuk gerakan yang dilakukan oleh makmum sama persis waktunya dengan gerakan imam. Sehingga ia akan melakukan ruku’ bersamaan dengan ruku’nya imam, bersujud bersamaan dengan sujudnya imam dan bangun bersamaan dengan bangunnya imam. Maka berdasarkan dalil hadits yang ada, hal tersebut diharamkan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,

# “Janganlah kalian ruku’ sampai imam melakukan ruku’. Dan janganlah kalian bertakbir sampai imam melakukan takbir.” (HR. Bukhari)

Sebagian ulama menganggap bahwa hal tersebut makruh dan bukan haram, kecuali dalam takbiratul ihram. Sehingga, ketika seorang makmum bertakbir bersamaan dengan takbirnya imam, maka shalatnya tidak sah, sehingga ia harus mengulangi kembali shalatnya tersebut.

3. Mengikuti (al-Mutaba’ah)
Adalah melakukan gerakan shalat sesuai dengan gerakan imamnya tanpa ketinggalan sedikit pun. Dan sebenarnya, inilah yang dituntut oleh agama.

4. Tertinggal (al-Mukhalafah)
Adalah suatu hal yang sangat bertentangan dengan apa yang disyariatkan dalam agama. Sebagai contoh, seorang imam telah berdiri dari sujud, sedangkan anda sebagai seorang makmum malah asyik masyuk dalam sujud. Sekalipun anda sangat ingin berdo’a yang panjang dalam sujud, dan memang salah satu tempat do’a mustajab adalah dalam sujud, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

# “Perbanyaklah do’a di dalam sujud. Karena kemungkinan diterimanya akan lebih.” (HR. Muslim, hadits shahih).

Akan tetapi, anda harus ingat bahwa pada saat ini anda sedang terikat dengan seorang imam. Selama seorang makmum terikat dengan imamnya, maka ia harus mengikutinya. Apabila imam telah berdiri, maka berdirilah.

Dalam buku Shalatul Jama’ah hal. 178-179, Prof Dr. Sholih bin Ghonim As-Sadlan, menyebutkan bahwa jika makmum ketinggalan untuk mengikuti (mutaba’ah) imam tanpa ada udzur (karena ngantuk, lalai, atau imam terburu-buru), tetapi karena sengaja melakukannya, maka shalatnya adalah batal.

N. TAKBIRATUL IHRAM
Takbiratul ihram harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).

# Muhammad Ibnu Rusyd berkata,
"Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafalkannya di mulut."

1. Tidak Mengeraskan Suara Ketika Mengucapkan Lafal Takbir
# An Nawawi berkata,
"…adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafal takbir, baik apakah dia sedang menjadi makmum atau ketika shalat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an, takbir, membaca tasbih ketika ruku', tasyahud, salam dan do’a-do’a dalam shalat baik yang hukumnya wajib maupun sunnah…" beliau melanjutkan, "Demikianlah nash yang dikemukakan Syafi'i dan disepakati oleh para pengikutnya. Asy Syafi'i berkata dalam al-Umm, 'Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada disampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.'." (al Majmuu' III/295).

2. Keutamaan Mendapatkan Takbiratul Ihram Bersama Imam
# Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa telah melakukan shalat karena Allah selama 40 hari berjama’ah, ia mendapatkan takbir pertama (takbiratul ihram dengan imam –pent), maka dicatatlah baginya dua kebebasan; kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari kemunafikan. (H.R. Tirmidzi dari Anas, dihasankan oleh Syeikh Al Albani di kitab shahih Al Jami’ II/1089).

O. BACAAN MAKMUM
Dalam masalah bacaan makmum di belakang imam, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa semua bacaan imam merupakan bacaan makmum sehingga makmum tidak perlu membaca apa-apa. Ada juga yang mengharuskan makmum membaca Al-Fatihah saja, sedangkan bacaan ayat Al-Quran yang lain tidak tidak perlu dibaca, cukup dengan mendengarkan bacaan imam. Dan pendapat lainnya. Rincinya adalah sebagai berikut :

1. Madzhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Menurut Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah bahwa makmum harus membaca bacaan shalat di belakang imam pada shalat yang sirr (suara imam tidak dikeraskan) yaitu shalat Dzuhur dan Ashar. Sedangkan pada shalat jahriyah (Maghrib, Isya, Shubuh, Jumat, Ied, dll.), makmum tidak membaca bacaan shalat.

Namun bila pada shalat jahriyah itu makmum tidak dapat mendengar suara bacaan imam, maka makmum wajib membaca bacaan shalat.

# Dari Malik dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai dari shalat yang beliau mengeraskan bacaannya. Lalu beliau bertanya,
"Adakah diantara kamu yang ikut membaca juga tadi?". Seorang menjawab,"Ya, saya ya Rasulullah". Beliau menjawab, "Aku berkata mengapa aku harus melawan Al-Quran?" Maka orang-orang berhenti dari membaca bacaan shalat bila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengeraskan bacaan shalatnya (shalat jahriyah)." (HR. Tirmizi).
2. Madzhab Al-Hanafiyah
Sedangkan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa seorang makmum tidak perlu membaca apa-apa bila shalat di belakang imam, baik pada shalat jahriyah maupun shalat sirriyah.

# Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,
"Siapa shalat di belakang imam, maka bacaannya adalah bacaan imam.” (HR. Ad-Daruquthuny dan Ibnu Abi Syaibah)

3. Madzhab Asy-Syafi’iyyah
Dan Asy-Syafi`iyah mengatakan bahwa pada shalat sirriyah, makmum membaca semua bacaan shalatnya, sedangkan pada shalat jahriyah makmum membaca Al-Fatihah (Ummul Kitab) saja.

# Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang maknanya :
Tidak ada shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim dalam Mustadrak).

# “Apabila imam membaca maka diamlah.” (HR. Ahmad)

# Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat mengimami kami siang hari, maka bacaannya terasa berat baginya. Ketika selesai beliau berkata,
"Aku melihat kalian membaca di belakang imam". Kami menjawab,"Ya ". Beliau berkata, "Jangan baca apa-apa kecuali Al-Fatihah saja". (Ibnu Abdil berkata bahwa hadits itu riwayat Makhul dan lainnya dengan isnad yang tersambung shahih).

4. Kalangan Ulama Lainnya
Pada shalat berjama'ah ketika imam membaca Al-Fatihah secara sirr (tidak diperdengarkan) yakni pada shalat Dzuhur, 'Ashr, satu raka'at terakhir shalat Mahgrib dan dua raka'at terakhir shalat Isya, maka para makmum wajib membaca surat Al-Fatihah tersebut secara sendiri-sendiri secara sirr (tidak dikeraskan).

Lantas bagaimana kalau imam membaca secara keras…?
Tentang ini Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa pernah Rasulullah melarang makmum membaca surat di belakang imam kecuali surat Al-Fatihah:

# "Betulkah kalian tadi membaca (surat) di belakang imam kalian?" Kami menjawab: "Ya, tapi dengan cepat wahai Rasulallah." Berkata Rasul: "Kalian tidak boleh melakukannya lagi kecuali membaca Al-Fatihah, karena tidak ada shalat bagi yang tidak membacanya." (HR.Bukhari, Abu Dawud, dan Ahmad, dihasankan oleh At-Tirmidzi dan Ad-Daruqutni)

Selanjutnya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam melarang makmum membaca surat apapun ketika imam membacanya dengan jahr (diperdengarkan) baik itu Al-Fatihah maupun surat lainnya. Hal ini selaras dengan keterangan dari Al-Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal tentang wajibnya makmum diam bila imam membaca dengan jahr/keras. Berdasar arahan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

# Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Dijadikan imam itu hanya untuk diikuti. Oleh karena itu apabila imam takbir, maka bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan bacaan imam itu)" (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa-i, hadits shahih).

# Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Apabila imam bertakbir, bertakbirlah kamu dan apabila imam membaca, maka berdiamlah kamu serta perhatikanlah bacaannya.” (HR. Muslim)

# "Barangsiapa shalat mengikuti imam (bermakmum), maka bacaan imam telah menjadi bacaannya juga." (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ad-Daruqutni, Ibnu Majah, Thahawi dan Ahmad).

# Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah mendirikan shalat yang beliau keraskan bacaanya dalam shalat itu, beliau bertanya:
"Apakah ada seseorang diantara kamu yang membaca bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki menjawab, "Ya ada, wahai Rasulullah." Kemudian beliau berkata, "Sungguh aku katakan: Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al-Qur-an (juga)." Berkata Abu Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari membaca bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada shalat-shalat yang Rasulullah keraskan bacaannya, ketika mereka sudah mendengar (larangan) yang demikian itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An Nasa-i dan Malik. Abu Hatim Ar Razi menshahihkannya, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).

Hadits-hadits tersebut merupakan dalil yang tegas dan kuat tentang wajib diamnya makmum apabila mendengar bacaan imam, baik Al-Fatihahnya maupun surat yang lain. Selain itu juga berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):

# "Dan apabila dibacakan Al-Qur-an hendaklah kamu dengarkan ia dan diamlah sambil memperhatikan (bacaannya), agar kamu diberi rahmat." (Al-A'raaf: 204).

Ayat ini asalnya berbentuk umum yakni dimana saja kita mendengar bacaan Al-Qur’an, baik di dalam shalat maupun di luar shalat, wajib diam mendengarkannya walaupun sebab turunnya berkenaan tentang shalat. Tetapi keumuman ayat ini telah menjadi khusus dan tertentu (wajibnya) hanya untuk shalat, sebagaimana telah diterangkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Adh-Dhahak, Qatadah, Ibrahim An Nakha-i, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan lain-lain. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir II/280-281]

Semua perbedaan ini berangkat dari perbedaan nash yang ada, dimana masing-masing mengantarkan kepada bentuk pemahaman yang berbeda juga.

Bila dilihat dari masing-masing dalil itu, nampaknya masing-masing sama kuat walaupun hasilnya tidak sama. Dan hal ini tidak menjadi masalah manakala memang sudah menjadi hasil ijtihad.

Namun kalau boleh memilih, nampaknya apa yang disebutkan oleh kalangan Asy-Syafi`iyah bahwa makmum membaca Al-Fatihah sendiri setelah selesai mendengarkan imam membaca Al-Fatihah, merupakan penggabungan (jam`) dari beragam dalil itu. Ini sebuah kompromi dari dalil yang berbeda. Karena ada dalil yang memerintahkan untuk membaca Al-Fatihah saja tanpa yang lainnya. Tapi ada juga yang memerintahkan untuk mendengarkan bacaan imam. Karena itu bacaan Al-Fatihah khusus makmum bisa dilakukan pada sedikit jeda antara amin dan bacaan surat. Dalam hal ini, seorang imam yang bijak tidak akan langsung memulai bacaan ayat Al-Qur’an setelah amin. Tapi memberi kesempatan waktu untuk makmum membaca Al-Fatihahnya sendiri.

P. MEMBACA AMIN
1. Hukum Membaca Amin Bagi Imam
Membaca amin disunnahkan bagi imam.

# Dari Abu Hurairah, dia berkata:
"Dulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, jika selesai membaca surat Ummul Kitab (Al-Fatihah) mengeraskan suaranya dan membaca amin." (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ad-Daruqutni dan Ibnu Majah, oleh Al-Albani dalam Al-Silsilah Al-Shahihah dikatakan sebagai hadits yang berkualitas shahih)

# "Bila Nabi selesai membaca Al-Fatihah (dalam shalat), beliau mengucapkan amin dengan suara keras dan panjang." (HR. Bukhari dan Abu Dawud, hadits shahih)

Hadits tersebut di atas mensyari'atkan para imam untuk mengeraskan bacaan amin, demikian yang menjadi pendapat Al-Imam Al-Bukhari, As-Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan para imam fikih lainnya. Dalam shahihnya Al-Bukhari membuat suatu bab dengan judul 'baab jahr al-imaan bi al-ta-miin' (artinya: bab tentang imam mengeraskan suara ketika membaca amin). Di dalamnya dinukil perkataan (atsar) bahwa Ibnu Al-Zubair membaca amin bersama para makmum sampai seakan-akan ada gaung dalam masjidnya. Juga perkataan Nafi' (maula Ibnu Umar): Dulu Ibnu Umar selalu membaca amin dengan suara yang keras. Bahkan dia menganjurkan hal itu kepada semua orang. Aku pernah mendengar sebuah kabar tentang anjuran dia akan hal itu."

2. Hukum Membaca Amin Bagi Makmum
Ucapan amin dari makmum dikaitkan dengan ucapan amin dari imam, karena harus terdengar suaranya. Para sahabat Rasulullah juga mengucapkan amin di belakangnya dengan suara keras, sehingga masjid terasa bergema oleh suara mereka.

Dalam hal ini ada beberapa petunjuk dari Nabi (Hadits), atsar para sahabat dan perkataan para ulama.

# Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila imam membaca amin, maka aminilah oleh kalian” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal ini mengisyaratkan bahwa membaca amin itu hukumnya wajib bagi makmum. Pendapat ini dipertegas oleh Asy-Syaukani. Namun hukum wajib itu tidak mutlak harus dilakukan oleh makmum. Mereka baru diwajibkan membaca amin ketika imam juga membacanya. Adapun bagi imam dan orang yang shalat sendiri, maka hukumnya hanya sunnah. (lihat Nailul Authaar, II/262).

3. Mengucapkan Amin Bersamaan Dengan Imam
# Syaikh Al-Albani mengomentari masalah ini sebagai berikut:
"Aku berkata: Masalah ini harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan dengan cara meninggalkannya. Termasuk kesempurnaan dalam mengerjakan masalah ini adalah dengan membarengi bacaan amin sang imam, dan tidak mendahuluinya. (Tamaamul Minnah hal. 178)

# "Bila imam selesai membaca ghairil maghdhuubi 'alaihim waladhdhaaalliin, ucapkanlah amiin [karena malaikat juga mengucapkan amiin dan imam pun mengucapkan amin]. Dalam riwayat lain: "(apabila imam mengucapkan amin, hendaklah kalian mengucapkan amin). Barangsiapa ucapan aminnya bersamaan dengan malaikat, (dalam riwayat lain disebutkan: "bila seseorang diantara kamu mengucapkan amin dalam shalat bersamaan dengan malaikat dilangit mengucapkannya), dosa-dosanya masa lalu diampuni." (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa-i dan Ad-Darimi)

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Jika imam membaca amin, maka bacalah amin olehmu. Karena siapa yang mengikuti ucapan amin sang imam, para malaikat juga mengucapkan amin. Dan Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari).

# Menurut Ar-Rafi’i,
Yang lebih utama adalah apabila ucapan amin ini diucapkan bersamaan antara makmum dan imam, tidak sebelum dan tidak juga setelahnya…

# Menurut Syaikh Muhammad Bayumi dalam kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim,
Mendahului imam dalam mengucapkan amin adalah suatu kesalahan dan yang benar adalah hendaknya makmum mengucapkan amin berbarengan dengan imam, agar harapan diampunkan lebih besar.”

Q. BACAAN SURAT SETELAH AL-FATIHAH
Hukum membaca surat selain Al-Fatihah dalam shalat adalah sunnah. Dan dalam pelaksanaannya seseorang bisa memilih surat atau ayat yang mana saja, yang dia bisa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri terkadang membaca surat-surat yang panjang dan terkadang hanya membaca surat-surat yang pendek. Biasanya beliau lakukan hal tersebut jika ada hal yang mengganggu seperti dalam perjalanan, sakit atau pun tangisan bayi.

# Seorang tabi’it bertanya kepada Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu anhu tentang shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Abu Sa’id menjawab:
Tidak ada gunanya engkau mengetahuinya, karena engkau tak mau melaksanakannya.

Kemudian yang bertanya mengulangi lagi pertanyaannya. Maka Abu Sa’id radhiyallahu anhu berkata:
Ketika shalat Dzuhur didirikan, maka pergilah salah seorang dari kami ke Baqie, dan melepaskan hajatnya disana. Kemudian dia datang kepada keluarganya, lalu mengambil air wudhu’, kemudian ia kembali ke masjid, sedangkan Nabi masih dalam raka’at yang pertama, karena beliau memanjangkannya.” (HR. Ahmad).

# Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata:
"Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan bacaan shalat Shubuh (dalam hadits yang lain: Beliau membaca dua surat yang paling pendek). Kemudian beliau ditanya: ‘Kenapa anda meringankan bacaan?’ Beliau menjawab: ‘Aku mendengar tangisan anak kecil, maka aku mengira ibunya sedang shalat bersama kita, sehingga aku bermaksud ibunya segera mengurusi anak tersebut" (HR. Ahmad)

# Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Aku sedang melaksanakan shalat dan bermaksud memanjangkan bacaannya kemudian aku mendengar tangisan anak kecil, lalu aku meringankan bacaan dalam shalatku karena aku mengetahui bagaimana kesedihan yang sangat yang dirasakan ibu tersebut akibat tangisan anaknya" (HR.Bukhari dan Muslim).

# Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila seseorang kamu mengimami manusia, maka hendaklah dia meringankan shalat, karena di antara mereka ada yang kecil dan ada yang tua, ada yang lemah, ada yang sakit; apabila ia bershalat sendiri, hendaklah ia shalat sesuai yang ia kehendaki.” (HR. Bukhari dan Muslim).

# Dari Jabir radhiyallahu anhu, ia berkata: Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz tatkala Mu’adz memanjangkan bacaan dalam shalat Isya beserta kaumnya (membaca surat Al-Baqarah):
Apakah (kenapakah) engkau ingin menghasilkan fitnah, hai Mu’adz? (3 kali). Apakah tidak baik engkau membaca Sabbihisma Rabbikal a’la: Wasysyamsii wa dluhaha, Wal laili idza yaghsya, karena di belakang engkau, shalat orang tua, orang lemah, anak kecil dan yang mempunyai keperluan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits Mu’adz yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci kita memanjangkan shalat, haruslah diperhatikan awal akhirnya. Tak boleh kita hanya mengambil perkataan: “apakah engkau ingin menghasilkan fitnah, hai mu’adz?”

Kisah Mu’adz itu, begini:
Pada suatu malam, sesudah Mu’adz shalat Isya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliaupun pulang ke kampungnya. Sesampai di kampung, beliau meng-imami kaumnya dengan membaca surat Al-Baqarah. Ketika malam telah larut, salah seorang di antara makmum meneruskan shalat sendirian, lalu dia dituduh munafiq. Karena dia dituduh munafiq, maka dia pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan hal tersebut. Ia menjelaskan bahwa ia berbuat demikian karena sangat perlu menyirami kurmanya. Setelah mendengarkan penjelasan orang tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz: “Apakah engkau ingin menghasilkan fitnah, hai Mu’adz? Bacalah Sabbihisma Rabbikal a’la dan yang setara denganya.

Maka dengan ini jelaslah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita membaca surat yang paling panjang ketika shalat di malam yang telah larut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan menyuruh kita membaca surat sependek-pendeknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh membaca Sabbihisma Rabbikal a’la dan yang setara dengannya sesudah jauh malam, karena dipandang paling singkat.

# Dari Amar bin Huraits, ia berkata:
Bahwasanya Nabi shalat Shubuh dengan (membaca surat) wallaili idza yaghsya.” (HR. Muslim).

Hadits Amar bin Huraits ini ditetapkan ketika shalat Shubuh di dalam safar.

# Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu, ia berkata:
Adalah aku menuntun unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar, maka Nabi berkata: Apa tidak baik aku ajarkan kepadamu dua surat yang belum pernah dibaca yang semisalnya? Aku menjawab: Baik sekali. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku surat Al-Falaq dan surat An-Nas. Beliau melihat aku tiada tertarik hati kepada surat itu. Sesudah beliau turun untuk shalat Shubuh, beliaupun membaca surat itu dalam shalat. Kemudian beliau berkata: Bagaimana pendapat engkau?.” (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)

Hadits ‘Uqbah yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al Mu’awwidzataini: qul ‘audzu bi Rabbil falaq dan qul ‘audzu bi Rabbin nas di shalat Shubuh ditetapkan ketika shalat dalam safar.

Ada sejumlah hadits yang menjelaskan tentang bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau melaksanakan shalat-shalat fardhu, hadits-hadits itu, antara lain:

1. Shalat Shubuh
Pada shalat Shubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca surat-surat mufashal yang panjang-panjang (HR. An-Nasa’i dan Ahmad, hadits shahih)

Yang dimaksud dengan surat-surat Al-Mufashal adalah surat-surat yang terdapat dalam Al-Qur’an mulai surat Qaf sampai akhir Al-Qur’an sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari jilid II halaman 259.

Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca surat Al-Waqi’ah (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim), surat At-Thur (HR. Bukhari), dan terkadang beliau membaca surat-surat Al-Mufashal yang pendek seperti surat At-Takwir (HR. Muslim dan Abu Dawud). Bahkan dalam riwayat Abu Dawud, beliau pernah membaca surat Al-Zalzalah dalam kedua raka’at shalat Shubuh sehingga rawi hadits berkata: “Aku tidak mengetahui apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lupa atau sengaja melakukannya” (HR Abu Dawud Bab mengulang bacaan satu surat dalam dua raka’at) Dan apabila di hari Jum’at beliau membaca surat Alif Lamim Sajdah dan surat Al-Insan (HR Bukhari dan Muslim).

2. Shalat Dzuhur
Pada shalat Dzuhur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat At-Thoriq, Al-Buruj, Al-Lail (HR Abu Dawud dan Tirmidzi) dan terkadang beliau membaca surat Al-Insyiqoq (HR. Ibnu Khuzaimah)

3. Shalat Ashar
Ketika shalat Ashar beliau membaca kurang lebih lima belas ayat atau setengah dari yang beliau baca ketika melaksanakan shalat Dzuhur. (HR. Muslim).
Terkadang juga beliau membaca surat-surat sebagaimana yang beliau baca dalam shalat Dzuhur seperti At-Thariq, Al-Buruj, Al-Lail dan surat Al-Insyiqaq (HR Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)

4. Shalat Maghrib
Pada shalat Maghrib beliau membaca surat At-Thur (HR. Bukhari dan Muslim), Al-Mursalat (HR Bukhari dan Muslim) Al-Anfal (HR At-Thabrani), Al-A’raf (HR Bukhari dan Abu Dawud)

5. Shalat Isya
Sedangkan pada shalat Isya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat-surat Al-Mufashal yang pertengahan (HR An-Nasa’i dan Ahmad), surat As-Syamsi dan yang menyerupainya (HR Ahmad dan At-Tirmidzi), surat Al-Insyiqaq (HR Bukhari dan Muslim) dan surat At-Tin ketika sedang dalam perjalanan (HR Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi semua hadits-hadits di atas tidak menunjukkan bahwa kita harus membaca surat-surat sebagaimana yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baca dalam shalat-shalat fardhu karena dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca semua surat-surat Al-Mufashal dalam shalat-shalat yang Fardhu.

# Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu anhu ia berkata:
Tidak ada satu surat pun dari Al-Mufashal baik yang pendek maupun yang panjang melainkan aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya ketika mengimami orang-orang pada shalat-shalat Fardhu” (HR Abu Dawud)

Hadits ini menunjukan bahwa kita diperbolehkan untuk membaca surat apapun ketika sedang melaksanakan shalat Fardhu. Demikian pula dalam shalat tarawih atau shalat witir. Kita diperbolehkan membaca surat yang mana saja. Namun demikian ada beberapa surat yang biasa beliau baca dalam shalat witir antara lain surat Al-‘Alaa di raka’at yang pertama, surat Al-Kafirun di raka’at ke dua dan surat Al-Ikhlas di raka’at ketiga. (HR An-Nasa'i dan Hakim) dan terkadang beliau menambahkan surat Al-Falaq dan An-Nas (HR. Tirmidzi) dan dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca seratus ayat surat An-Nisa’ dalam raka’at witir (HR. An-Nasa'i dan Ahmad)

R. MEMBETULKAN KESALAHAN IMAM
Kesalahan dalam gerakan yang dilakukan oleh imam -seperti kelebihan raka’at- maka cara membetulkannya adalah dengan penyebutan subhanallah oleh makmum. Sedangkan kesalahan atau lupa membaca potongan ayat Al-Quran oleh imam, maka cara memberitahukannya adalah dengan mengucapkan bacaan yang benar. Dan tidak perlu si makmum berkata, wahai imam, anda salah karena kita sekarang ini sudah raka’at keempat. Mengapa? Karena ungkapan itu tidak lain adalah ‘percakapan’, yang apabila dilakukan, maka akan membatalkan shalat. Sedangkan bacaan makmum membetulkan bacaan imam tidak masuk dalam ‘percakapan’ karena si makmum hanya membaca ayat Al-Qur’an.

# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat, lalu beliau mengalami kekeliruan dalam membaca ayat Al-Qur’an. Tatkala selesai beliau bersabda kepada Ubay:
Apakah engkau tadi shalat bersamaku?” Jawabnya: “Ya.” Sabdanya: (“Mengapa engkau tidak mau [membetulkan kekeliruanku])?” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, Thabarani, Ibnu ‘Asakir dan Adh-Dhiya, hadits shahih)

Jadi pembetulan dan koreksi hanya berlaku pada bacaan ayat Al-Quran, sedangkan pada gerakan maka cukup dengan membaca subhanallah.

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah besabda:
Bagi wanita adalah bertepuk tangan.” (Jami’ Ahkam An-Nisa I/352)

S. BERMAKMUM KEPADA SESAMA MASBUQ
Peristiwa pindah shalat jama’ah dari dari imam pertama yang telah selesai shalat kepada makmum lain yang masbuq lalu dijadikan imam, tidak terdapat dalil yang menguatkannya dalam hukum shalat. Yang ada hanyalah bahwa sesama masbuq, maka mereka wajib menyelesaikan sendiri-sendiri shalat mereka dan hukumnya kembali lagi menjadi shalat sendiri.

Bab-bab fiqih shalat pun umumnya tidak membahas masalah pindah shalatnya jama’ah dari imam pertama yang telah selesai shalat kepada makmum lain yang masbuq lalu dijadikan imam. Padahal kalaulah memang masyru’iyahnya ada, pastilah semua fuqaha menuliskannya dalam literatur utama fiqih Islam.

Apabila ada seorang makmum maju dan merasa berhak menjadi imam untuk Anda, padahal tadinya Anda berdua adalah sama-sama makmum, maka Anda tidak perlu menjadi makmumnya tetapi selesaikanlah shalat Anda sendiri,

Kalau ada yang berpandangan bolehnya bermakmum kepada sesama masbuq, maka dasarnya sangat lemah dan kita tidak punya contoh praktek seperti itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat. Sedangkan bila makmumnya adalah orang yang baru datang dan baru mau mulai shalat maka tidak ada larangan untuk menjadikan orang lain yang sedang shalat untuk menjadi imam dan juga tidak perlu menepuk pundaknya. Karena menepuk pundak walau pun tidak dilarang, tetapi bukanlah termasuk bentuk aktifitas shalat dan juga tidak ada dalil yang memerintahkan seseorang untuk menepuk pundak orang yang akan dijadikan sebagai imam.

Perbuatan itu hanya didasarkan kepada nalar sebagian orang bahwa seorang yang tadinya shalat sendiri lalu dijadikan imam perlu mengetahui bahwa di belakangnya ada barisan makmum yang mengikutinya. Sehingga diharapkan agar si imam ini menyesuaikan diri dalam bacaan dan gerakan shalatnya. Misalnya pada shalat jahriyah dimana seharusnya imam mengeraskan bacaan, maka dengan memberi tanda dengan menepuk pundaknya, dia akan mengeraskan bacaan Al-Fatihah dan ayat Al-Qur’an dan para makmum bisa mengamini.

Menepuk pundak itu bukanlah hal yang disepakati oleh semua orang, sehingga salah-salah bisa melahirkan salah tafsir dari si imam. Tidak tertutup kemungkinan orang itu tidak tahu isyarat tepuk pundak ini, sehingga dia menganggap tepukan itu justru gangguan atau peringatan bahaya, lalu dia menyingkir atau malah membatalkan shalatnya, atau yang paling parah adalah dia balas menepuk kepada makmum. Nah kalau begini bisa berabe.

T. BERMAKMUM SHALAT WAJIB KEPADA ORANG YANG SEDANG SHALAT SUNNAH
Para ulama sepakat bahwa tidak harus ada kesamaan niat antara imam dan makmum dalam shalat berjama’ah.

Shalat berjama’ah tetap sah dilakukan meskipun ada perbedaan niat antara imam dengan makmumnya. Misalnya, imamnya berniat melaksanakan shalat fardhu sedangkan makmumnya berniat melaksanakan shalat sunnah, ataupun sebaliknya.
Juga tidak disyaratkan untuk berniat menjadi imam bagi seorang imam yang diikuti, namun bagi makmum wajib berniat sebelumnya.

# Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para sahabatnya dua raka’at kemudian beliau salam. Kemudian shalat lagi bersama kelompok yang lain dua raka’at. Shalat beliau yang pertama adalah shalat fardhu sedangkan yang kedua adalah shalat sunnah. (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu)

# Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu.pernah melaksanakan shalat Isya berjama’ah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia pulang ke kaumnya dan menjadi imam dalam shalat Isya mereka. Tentunya, shalat yang pertama adalah shalat fardhu sedang shalat yang kedua adalah shalat sunnah. (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Muhjan bin Al-Adzra’ radhiyallahu anhu ia berkata:
“Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang di masjid, lalu tibalah waktu shalat dan beliau shalat. Nabi bertanya kepadaku: ‘Kenapa kamu tidak shalat?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku telah melaksanakannya di perjalanan, kemudian aku mendatangimu’ Beliau berkata: ‘Jika engkau melakukan hal tersebut, maka shalatlah bersama mereka dan jadikanlah shalat tersebut sebagai shalat nafilah (sunnah)’” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al-Bani dalam Al-Irwa No. 534)

Dengan demikian, shalat orang yang melaksanakan shalat wajib tetapi berimam dengan orang yang melaksanakan shalat sunnah ataupun sebaliknya adalah sah dan tidak perlu diulangi lagi, meskipun niat shalat antara imam dan makmumnya berbeda.

U. SUJUD SAHWI DALAM SHALAT BERJAMA’AH
Dalam shalat berjama’ah, posisi imam adalah untuk diikuti. Namun hak makmum adalah mengingatkan bila imam lalai atau lupa.

Makmum laki-laki memberi peringatan dengan mengucapkan lafal “Subhanallah”, sedangkan makmum wanita dengan bertepuk tangan.

Untuk itu imam wajib mendengar peringatan makmum bila melakukan kesalahan, dan diakhir shalat hendaknya melakukan sujud sahwi dan wajib diikuti oleh makmum. Meskipun yang lupa hanya imam saja, tapi makmum harus ikut imam dan melakukan sujud sahwi juga.

V. JAMA’AH SHALAT KHUSUS WANITA
1. Posisi Imam Dan Makmum Wanita Dalam Jama’ah Wanita
Hadits yang menjelaskan tentang posisi imam dan makmum bila jama’ah shalat itu khusus para wanita, adalah:

# Dari Atha’ bahwa,
Aisyah pernah beradzan, berqamat dan mengimami para wanita dan berdiri di tengah mereka.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)

# Dari Mujahid dari ayahnya dan Atha’ bahwa,
"Wanita menjadi imam para wanita dalam shalat wajib dan shalat sunnah dengan berdiri di tengah-tengah mereka.” (HR. Abdurrazzaq dalam Mushannafnya)

# Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya:
Jika beberapa orang wanita berkumpul di suatu rumah dan mereka ingin melaksanakan shalat sunnah seperti shalat Tarawih atau shalat fardhu, apakah seseorang diantara mereka harus maju untuk menjadi imam sebagaimana dilakukan oleh kaum pria?”
Jawaban: “Hendaknya salah seorang di antara mereka menjadi imam, baik untuk melaksanakan shalat wajib maupun shalat sunnah, akan tetapi imam wanita itu tidak maju di depan shaf sebagaimana seorang pria mengimami kaum pria dalam shalat berjama’ah, melainkan cukup bagi imam wanita itu untuk berdiri di tengah-tengah shaf pertama.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta VII/390, fatwa nomor 3907]

2. Bacaan Imam Wanita Dengan Jama’ah Wanita
Jika seorang wanita menjadi imam, maka ia disunnahkan untuk menjaharkan bacaan di waktu shalat jahriyyah, yaitu shalat Shubuh, dua raka’at pertama shalat Maghrib dan Isya, kecuali jika ada laki-laki. Dan disunnahkan untuk mensirkan bacaan pada waktu shalat Dzuhur, Ashar dan satu raka’at shalat Maghrib serta dua raka’at terakhir shalat Isya.

Ibnu Qudamah berkata: “Dan hendaklah wanita tersebut menjaharkan bacaan pada shalat jahriyyah, dan jika ternyata ada laki-laki hendaklah ia tidak menjahrkannya kecuali jika laki-laki tersebut adalah mahramnya maka hal tersebut tidak mengapa” (Al-Mughni II/202)

Syeikh Mustahfa Al-Adwi dalam Jami’ An-Nisa ketika mengomentari pendapat Ibnu Qudamah tersebut berkata: “Ini adalah pendapat yang baik karena bertumpu kepada hukum asal dalam melaksanakan shalat berjama’ah yaitu menjaharkan bacaan pada waktu shalat jahriyyah, kemudian beliau mengecualikan satu hal yaitu jika ada laki-laki atau jika ada laki-laki yang mendengarnya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah besabda: ‘Bagi wanita adalah bertepuk tangan’. Ini semua dilakukan agar terjauh dari fitnah. (Jami’ Ahkam An-Nisa I/352)