Minggu, 24 Juli 2011

GERAKAN DAN BACAAN SHALAT

GERAKAN DAN BACAAN SHALAT
1. Takbiratul Ihram
Takbiratul ihram harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).

# Muhammad Ibnu Rusyd berkata,
"Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafalkannya di mulut."

# An-Nawawi berkata,
"…adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafal takbir, baik apakah dia sedang menjadi makmum atau ketika shalat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an, takbir, membaca tasbih ketika ruku', tasyahud, salam dan do’a-do’a dalam shalat baik yang hukumnya wajib maupun sunnah…" beliau melanjutkan, "Demikianlah nash yang dikemukakan Syafi'i dan disepakati oleh para pengikutnya. Asy Syafi'i berkata dalam al-Umm, 'Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada disampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.'." (al Majmuu' III/295).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memulai shalatnya dengan takbiratul ihram yakni mengucapkan Allahu Akbar di awal shalat dan beliau pun pernah memerintahkan seperti itu kepada orang yang shalatnya salah.

# Beliau bersabda kepada orang itu:
"Sesungguhnya shalat seseorang tidak sempurna sebelum dia berwudhu' dan melakukan wudhu' sesuai ketentuannya, kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar." (HR. Thabrani dengan sanad shahih).

# Dari Abi Humaid radhiyallahuanhu:
Apabila Nabi akan mendirikan shalat, beliau berdiri lurus dan mengangkat kedua tangannya, kemudian beliau mengucapkan Allahu Akbar.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

# Dari Ali radhiyallahuanhu:
Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan melaksanakan shalat, beliau mengucapkan Allahu Akbar.” (HR. Al-Baraz dengan sanad shahih)

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Apabila engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhu'mu terlebih dahulu kemudian menghadaplah ke arah kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihram." (Muttafaq’alaihi).

a) Tata Cara Takbir
Adapun cara takbir berdasarkan riwayat yang shahih ada tiga macam:

1) Mengangkat Tangan Terlebih Dahulu, Baru Kemudian Mengucapkan Takbir
# Dari Zuhri radhiyallahuanhu:
Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan mendirikan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua bahunya, kemudian beliau mengucapkan takbir.” (HR. Muslim)

Cara ini menurut ulama Hanafiah adalah yang paling baik. Alasannya ialah mengangkat kedua tangan itu merupakan simbol untuk meniadakan sifat-sifat kebesaran kepada selain Allah. Sedangkan takbir itu sendiri merupakan pengukuhan akan kebesaran Allah. Peniadaan harus didahulukan daripada pengukuhan seperti dalam kalimat "syahadat". (Lihat Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Fatkhul Bari, (Beirut: Dar Al-Ma'rifah, 1379 H), juz 2, h.218).
Dalam syahadat sebelum mengukuhkan bahwa hanya Allah lah Tuhan yang wajib disembah, ditiadakan dulu adanya Tuhan-tuhan selain Allah.

2) Mengucapkan Takbir Terlebih Dahulu, Baru Kemudian Mengangkat Kedua Tangan
# Dari Khalid, bersumber dari Abi Qilabah,
Bahwa ia pernah melihat Malik bin Huwairits ketika melakukan shalat, memulainya dengan bertakbir serta mengangkat kedua tangannya. Apabila dia ingin rukuk, dia mengangkat kedua tangannya. Begitu juga apabila dia bangkit dari rukuk, dia mengangkat kedua tangannya. Setelah selesai dia menceritakan bahwa itulah cara yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Muttafaq `alaih)

Tentang cara yang kedua ini, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Saya tidak pernah menjumpai ulama yang berpendapat bahwa takbir itu didahulukan daripada mengangkat tangan." (Lihat Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Fatkhul Bari, (Beirut: Dar Al-Ma'rifah, 1379 H), juz 2, h.218).

3) Bersamaan Antara Mengucapkan Takbir Dan Mengangkat Kedua Tangan
# Salim bin Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu menceritakan,
"Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri hendak shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga setentang dengan kedua bahunya sambil mengucapkan takbir. Jika akan ruku’, beliau lakukan pula seperti itu. Begitu juga ketika hendak bangkit dari ruku’. Tetapi beliau tidak melakukannya ketika mengangkat kepala dari sujud.” (HR. Muslim)

Menurut Imam Nawawi, cara ini adalah benar sebagaimana juga dilakukan oleh Imam Syafi'i.

b) Posisi Kedua Tangan Ketika Takbir
Posisi kedua tangan ketika takbir ada 2 macam:

1) Kedua Tangan Sejajar Telinga; Dimana Kedua Ibu Jari Sejajar Dengan Bagian Telinga Paling Bawah
# Dari Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu anhu, ia berkata:
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya sejajar telinga setiap kali bertakbir –di dalam shalat." (HR. Muslim).

# Dari Malik bin Al-Huwairits radhiyallahuanhu, ia berkata:
"Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan bagian telinga paling bawah, demikian juga ketika akan ruku’ dan bangun dari ruku’." (HR. An-Nasa’i).

# Dari Wail radhiyallahuanhu:
"Sesungguhnya ia melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika akan shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai kedua ibu jarinya sejajar dengan bagian telinga paling bawah." (HR. An-Nasa’i).

2) Kedua Tangan Sejajar Bahu
# Dari Abdullah bin Umar radiyallahu anhu, ia berkata:
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya sejajar bahu jika hendak memulai shalat, setiap kali bertakbir untuk ruku' dan setiap kali bangkit dari ruku'nya." (HR. Muttafaq ‘alaih).

# Dari Zuhri radiyallahu anhu:
"Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mendirikan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua bahunya, kemudian beliau." (HR. Muslim).

# Salim bin Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu menceritakan,
"Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri hendak shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga setentang dengan kedua bahunya sambil mengucapkan takbir. Jika akan ruku’, beliau lakukan pula seperti itu. Begitu juga ketika hendak bangkit dari ruku’….” (HR. Muslim)

c) Merapatkan Jari-Jemari Tangan Ketika Takbir
# “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus ke atas --tidak merenggangkannya dan tidak pula menggengamnya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam dan Hakim).

d) Meletakkan Kedua Tangan Setelah Takbir (Bersedekap)
1) Tangan Kanan Di Atas Tangan Kiri.
# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Kami, para nabi diperintahkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur serta meletakkan tangan kanan pada tangan kiri (bersedekap) ketika melakukan shalat." (HR. Ibnu Hibban dan Adh-Dhiya' dengan sanad shahih).

# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

# Dalam sebuah riwayat pernah beliau melewati seorang yang sedang shalat, tetapi orang ini meletakkan tangan kirinya pada tangan kanannya, lalu beliau melepaskannya, kemudian orang itu meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang shahih).

2) Meletakkan Atau Menggenggam.
# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan lengan kanan pada punggung telapak kirinya, pergelangan dan lengan kirinya, berdasar hadits dari Wail bin Hujur:
"Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya di atas telapak tangan kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya." (HR. Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, dengan sanad yang shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban).

# Beliau terkadang juga menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya,
"Tetapi beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya.
" (HR. An-Nasa’i dan Daruqutni dengan sanad shahih).

3) Posisi Meletakkan Tangan.
Ini merupakan persoalan yang menjadi perselisihan di kalangan ulama. Sebabnya ialah ditemukannya banyak hadits yang tidak menjelaskan secara detail mengenai posisi tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di dalam kitab-kitab hadits Bukhari dan Muslim. Hanya ada satu hadits yang menjelaskan secara meyakinkan perihal posisi tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah. Namun hadits tersebut ternyata tidak banyak dikutip oleh Imam-imam besar seperti Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali.

Maka berkembanglah tata cara meletakkan kedua tangan dalam beberapa cara.

i) Meletakkan Kedua Tangan Di Bawah Pusar
Cara ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

# Dari Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu, ia berkata:
Di antara sunnah dalam shalat adalah meletakkan telapak tangan di bawah pusar.” (HR. Abu Dawud, Ad-Daruquthi dan Al-Baihaqi).

Cara ini dianut oleh Imam Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri.

Menurut imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu Jilid III hadits ini merupakan hadits yang lemah (dhaif), karena hadits ini diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Ishak Al-Wasithi, sedangkan ia adalah perawi dhaif menurut kesepakatan dari para ulama hadits (muhadditsin) dalam bidang jarh wa ta’dil.

Menurut Al-Baihaqi, “Sanadnya tidak kuat, karena Abdurrahman bin Ishak Al-Wasithi adalah perawi yang matruk.”

Menurut Aini Al-Hanafi dalam kitab ‘Umdatul Qari’ jilid IV; ini adalah perkataan Ali bin Abi Thalib dari periwatannya kepada Rasulullah tidak benar.

Mereka juga berpedoman pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah “Meletakkan telapak tangan di bawah pusar termasuk sunnah dalam shalat” (Hadits dhaif diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hazm dari Abdurrahman bin Ishak Al-Wasithi)

Dan dari Anas radhiyallahu anhu, ia berkata, “Di antara sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya di bawah pusar.” Ini juga hadits yang dhaif (tidak ada sanadnya), kedhaifan hadits ini diterangkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla jilid IV.

ii) Meletakkan Kedua Tangan Di Atas Dada
# Dari Wail bin Hajar, ia berkata,
Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat. Beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dan diletakkan di dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah, shahih)

Oleh Syaikh Al-Albani dalam kitabnya Sifat Shalat Nabi menyebutkan bahwa makna dada adalah dada kita ini, jadi bukan di atas pusar tapi tetap di atas dada.

Dan mengomentari kedudukan hadits ini, penulis kitab Nailul Authar Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa,

# “Hadits ini adalah hadits paling kuat dalam babnya yang menerangkan tentang posisi tangan saat shalat.

Imam Mawarzi dalam Kitab Masa'il, berkata:

# "Imam Ishaq bin Rahawaih meriwayatkan hadits secara mutawatir kepada kami…. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a qunut dan melakukan qunut sebelum ruku'. Beliau menyedekapkan tangannya berdekatan dengan teteknya."

Pendapat yang semacam ini juga dikemukakan oleh Qadhi 'Iyadh al- Maliki dalam bab Mustahabatu ash-Shalat pada Kitab Al I'lam, beliau berkata:

# "Dia (Imam Ishaq bin Rahawaih) meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri di dada."

iii) Meletakkan Kedua Tangan Di Antara Pusar Dan Dada
# Dari Ibnu Jabir Adh-Dhabbi dari Bapaknya, ia berkata:
Bahwa Ali radhiyallahu anhu (ketika bersedekap) memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya pada daerah antara lengan tangan dengan sikunya di atas pusarnya.” (HR. Abu Dawud)

Cara ini dilakukan oleh Imam Syafi'i (meletakkan kedua tangan sedikit di bawah dada dan di atas pusar sedikit miring ke arah kiri) dan jumhur ulama.

Sungguhpun ada hadits dari Wail yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah yang secara tegas mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, namun ulama besar lebih banyak memilih cara ini. Hal ini disebabkan karena hanya dalam shahih Ibnu Khuzaimah-lah, terdapat riwayat Wail menyatakan secara tegas posisi tangan di atas dada. Padahal hadits yang sama dalam kitab-kitab yang sudah diakui keshahihannya, yaitu dalam kitab Bukhari dan Muslim, riwayat Wail tidak menceritakan secara detail posisi tangan diletakkan setelah takbiratul ihram.

Para ulama pendukung cara ini berpendapat, bahwa meletakkan kedua tangan di daerah antara bawah dada dan pusar mempunyai hikmah yang sangat besar. Pengarang kitab Faedul Qodir, Abdul Rauf al-Manawi, mengatakan bahwa hikmah meletakkan kedua tangan di bawah dada di atas pusar adalah, bahwa tempat tersebut adalah hati, anggota badan yang paling mulia, dan di dalam hatilah tempatnya niat. Niat sangat berhubungan dengan kekhusyu’an shalat, maka dapat dirasakan lebih khusu’ ketika kita shalat dengan tangan di antara pusar dan dada, daripada ketika tangan berada di atas dada.

e) Pandangan Mata
1) Memandang Ke Tempat Sujud
Madzhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa pada saat mengerjakan shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud.

# “Saat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepalanya dan memandang tempat sujud dan tatkala beliau memasuki Ka’bah pandangannya tetap kearah tempat sujud sampai beliau keluar Ka’bah. (HR. Baihaqi dan Hakim, dishahihkan oleh Hakim)

# Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata:
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengalihkan pandangannya dari tempat sujud (di dalam shalat)." (HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

2) Memandang Ke Depan
Madzhab Malikiyah berpendapat bahwa pandangan orang shalat adalah ke depan.

# “…. Maka sungguh Kami akan memalingkanmu kearah kiblat yang kamu sukai, maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 144)

Menurut Imam Maliki, firman Allah, “Maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram,” apabila pandangan orang shalat diarahkan ke tempat sujud, maka membutuhkan posisi tunduk dan hal ini akan mengganggu kesempurnaan posisi berdiri. Sebagian mereka juga berpendapat bahwa arah pandangan ketika shalat adalah diarahkan ke dada. Menurut Syarik Al-Qadhi, ketika orang yang shalat sedang berdiri, arah pandangannya adalah tempat sujud, seperti pendapat mayoritas ulama, karena akan terasa tenang, dan akan mengarah pada khusu’. Sedangkan ketika ia sedang ruku’, pandangannya diarahkan ke dua belah kaki, dan ketika ia sedang sujud pandangannya diarahkan ke batang hidung, adapun ketika ia sedang duduk arah pandangannya adalah tembok di depan-nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid I)

3) Memalingkan Wajah
Seseorang yang tengah melakukan shalat, tidak diperbolehkankan untuk memalingkan wajahnya. Karena, pada waktu itu Allah tengah berhadapan dengan wajah hambanya. Sehingga apabila seorang hamba memalingkan wajahnya, secara tidak langsung ia telah memalingkan wajahnya dari Allah.

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Jika kalian shalat, janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah akan senantiasa menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang shalat selama ia tidak menoleh ke kanan atau ke kiri." (HR. Tirmidzi dan Hakim).

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah telah memerintahkan shalat kepada kalian. Apabila kalian telah menghadapkan wajah kalian dalam shalat, maka janganlah sekali-kali memalingkannya. Karena Allah tengah berhadapan dengan wajah hamba-Nya yang sedang melakukan shalat. Dan Allah tidak akan berpaling, sebelum hamba-Nya memalingkan wajahnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi)

Dalam Zaadul Ma'aad I/248 disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang shalat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, "Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi rusak."
Juga dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa merusak konsentrasi atau di tempat yang ada gambar-gambarnya, diatas sajadah yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan dinding yang bergambar dan sebagainya.

4) Memejamkan Mata
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama; apakah dibolehkan atau tidak.

Menurut Ibnu Qayyim: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan pada kita untuk memejamkan mata ketika shalat, dan ulama berbeda pendapat dalam memakruhkannya. Imam Ahmad dan lainnya menganggap hal itu makruh, menurut mereka itu adalah perbuatan Yahudi, namun sebagian ulama membolehkannya dan tidak menganggapnya makruh. Karena menurut mereka, demikian itu (memejamkan mata) akan dapat membantu untuk mencapai kekhusyu’an sebagai inti shalat dan tujuan utamanya.

Dalam kitab Zaadul Ma’ad jilid I, disebutkan bahwa yang tepat adalah: apabila membuka kedua kelopak mata tidak mengganggu konsentrasi maka itu lebih baik, namun apabila di depan arah kiblatnya terdapat dinding yang dihiasi dengan ukiran yang dapat mengganggu konsentrasi shalat, maka dalam kondisi ini memejamkan mata tidak dimakruhkan sama sekali. Dalam kondisi ini pendapat yang mengatakan memejamkan mata lebih dianjurkan dekat sekali dengan pendapat yang menganggap makruh memejamkan mata, jika tidak ada halangan apa pun.

5) Menengadah Ke Langit
Sebagian jama’ah dalam shalat, mereka mengangkat pandangan ke langit. Perbuatan ini dengan tegas dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjanjikan siksa bagi pelakunya.

# Dari Ibnu Sirin, ia berkata:
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolak-balikkan pandangannya ke langit kemudian turunlah ayat ‘Mereka adalah orang-orang yang khusyu dalam shalat’ (QS. Al-Mu’minun: 2) Lalu beliau menundukkan kepalanya” (HR Ahmad dan dishahihkan Al-Hakim)

# “Hendaklah orang-orang berhenti menengadah ke langit ketika sedang shalat atau matanya tidak dikembalikan lagi kepada mereka.” (Dalam riwayat lain dikatakan: “Atau mata-mata mereka akan dicopot.)” (HR. Bukhari, Muslim dan Siraj)

# Dari Anas radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Mengapa sekelompok kaum mengangkat pandangan (menengadahkan wajah mereka) ke langit dalam shalat? Beliau mengangkat suara sampai beliau berkata, akhiri itu semua dan hendaknya turunkan pandangan mereka (lihat ke arah sujud).” (HR. Bukhari)

Menurut Qadhi ‘Iyadh’, “Ulama berbeda pendapat dalam hal mengangkat pandangan ke langit saat berdo’a, dan bukan ketika shalat. Menurut Syuraih dan ulama lainnya itu dilarang. Namun mayoritas mereka membolehkannya dan mereka berpendapat, langit adalah kiblat atau arah untuk berdo’a, sebagaimana Ka’bah kiblat dalam shalat. Mengangkat pandangan ke langit saat berdo’a tidak dilarang, sebagaimana tidak dilarang mengangkat tangan dalam berdo’a”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

# “Di langit rezekimu dan apa yang kau janjikan.” (QS. Adz-Dzariyat: 22)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar