Senin, 25 Juli 2011

LAIN-LAIN

LAIN-LAIN
1. Bersalaman Setelah Shalat
Bersalaman antara kaum muslimin merupakan suatu ibadah yang dianjurkan oleh agama, bahkan hal tersebut dipraktekkan sendiri oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau bertemu dengan para sahabatnya beliau tidak pernah ketinggalan untuk menyalami mereka.

# Dan suatu riwayat dijelaskan bahwa Thalhah bin Ubaidillah berdiri dari suatu halaqah (kumpulan) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang berada di masjid menuju ke arah Ubay bin Ka’ab radhiallahu anhu ketika turun ayat yang menjelaskan tentang diterimanya taubat beliau oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Thalhah menyalaminya serta mengucapkan selamat padanya dengan berita gembira tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Al-Bara radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Tidak ada dua orang muslim yang bertemu dan saling bersalaman melainkan keduanya akan diampuni sebelum keduanya berpisah.” (HR Abu Dawud)

# Dari Busyair bin Ka’ab Al-‘Adwi dari seorang laki-laki dari Anazah bahwasanya ia pernah bertanya kepada Abi Dzar radhiallahu anhu ketika beliau keluar dari negeri Syam:
Aku ingin bertanya padamu tentang suatu hadits dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abu Dzar berkata: “Kalau begitu aku akan memberitahukannya padamu, kecuali jika seuatu yang bersifat rahasia.” Aku berkata: “Ini bukan suatu rahasia, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyalami kalian jika kalian bertemu dengan beliau?” Abu Dzar berkata: “Tidak pernah sekali pun aku bertemu dengannya melainkan beliau selalu menyalamiku, dan beliau pernah mengutus seseorang untuk menemuiku tetapi aku tidak berada di rumah. Setelah aku datang, aku diberitahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menemuiku, maka akau mendatangi beliau ketika sedang berada di atas tempat tidurnya, kemudian ia memelukku. Dan hal tersebut lebih baik (dari sekedar bersalaman dalam hal menumbuhkan rasa cinta dan persaudaraan) (HR Abu Dawud)

Oleh karena itu disunnahkan untuk bersalaman ketika kita bertemu dengan saudara kita di masjid atau ketika sudah berada dalam shaf shalat. Dan apabila kita tidak sempat bersalaman sebelum shalat, maka kita disunnahkan untuk melakukan setelahnya. Hanya saja pelaksanaan bersalaman setelah shalat dilakukan setelah membaca dzikir-dzikir ba’da shalat.

Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin yang biasa bersalaman langsung setelah mengucapkan salam ketika shalat fardhu, merupakan suatu amalan yang tidak berlandaskan dalil. Oleh karena itu selayaknya amalan itu tidak dilakukan, karena yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah salam adalah membaca dzikir-dzikir sebagaimana yang diajarkan oleh beliau.

Sedangkan bersalaman setelah shalat sunnah, maka diperbolehkan melakukannya setelah salam jika sebelumnya kita tidak sempat melakukannya. Tetapi jika kita telah bersalaman sebelumnya maka hal tersebut sudah cukup.

2. Shalat Sendiri Atau Berjama’ah?
Kalau kepastian untuk bisa shalat berjama’ah itu jelas, maka shalat berjama’ah lebih utama meski waktunya agak mundur, tidak tepat begitu adzan selesai berkumandang.

Misalnya ada sebuah kelas yang sedang belajar dan waktu belajarnya baru selesai 30 menit setelah waktu Dzuhur masuk. Maka sebaiknya seseorang tidak keluar kelas lalu shalat sendirian, sebab nanti begitu kelas selesai akan ada shalat berjama’ah meski waktunya agak mundur sampai 30 menit.

Maka menunda shalat sendiri untuk mendapatkan shalat jama’ah adalah lebih utama, asalkan ada kepastian berkumpulnya jama’ah itu.

# Dari Ubay bin Ka'ab radhiallaahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Shalat seseorang bersama orang lain (berdua) lebih besar pahalanya dan lebih mensucikan daripada shalat sendirian, dan shalat seseorang ditemani oleh dua orang lain (bertiga) lebih besar pahalanya dan lebih menyucikan daripada shalat dengan ditemani satu orang (berdua), dan semakin banyak (jumlah jama'ah) semakin disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasai, hadits hasan)

3. Berdiri Ketika Mendengar Adzan
Berdiri ketika mendengar adzan bagi orang yang baru masuk masjid merupakan peng-amalan dua ibadah sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Yang pertama adalah mendengarkan dan menjawab adzan, sedangkan yang kedua adalah melaksanakan shalat Tahiyyatul Masjid.
Menjawab adzan bisa dilakukan dalam posisi apapun, sedangkan shalat tahiyyatul masjid diperintahkan untuk dilaksanakan sebelum duduk di masjid. Oleh karena itu, mereka yang baru masuk ke masjid dan mendengarkan adzan, biasanya berdiri terlebih dahulu sampai adzannya selesai, kemudian melaksanakan shalat sunnah tahiyyatul masjid.

Kecuali pada hari Jum'at, kalau seandainya kita masuk masjid sedangkan adzan sedang dikumandangkan, maka shalatlah langsung, karena mendengarkan dan menjawab adzan hukumnya sunnah sedangkan mendengarkan khotbah hukumnya wajib. Maka kita mendahulukan yang wajib di atas yang sunnah.

4. Mendengarkan Dan Menjawab Adzan
# Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Jika kamu mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa diucapkan oleh muadzin.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Namun khusus ketika mendengar bacaan hayya ’alatain, yaitu bacaan Hayya ‘alash Shalah dan Hayya ‘alal Falah, maka disunnahkan untuk membaca lafal Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah, sebagaimana yang diriwayatkan dari hadits Umar radhiallahu anhu berikut ini:

# Dari Umar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Bila muadzin mengucapkan Allahu Akbar 2x, maka ucapkanlah Allahu Akbar 2x, namun bila muadzin mengucapkan Hayya ‘alash Shalah, maka ucapkan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah, dan bila muadzin mengucapkan Hayya ‘alal Falah, maka ucapkan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Di dalam hadits lainnya ada disebutkan bahwa ucapan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah itu merupakan harta terpendam yang ada di surga.

# Dari Abi Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah adalah kanzun (harta terpendam) dari harta-harta yang ada di surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid
# Dari Abu Qatadah As-Sulami radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, hendaklah dia melaksanakan shalat dua raka’at sebelum duduk.” (HR Bukhari dan Muslim)

6. Shalat Sunnah Ketika Iqamah Dikumandangkan
Berkaitan dengan persoalan mengenai shalat sunnah ketika iqamah dikumandangkan, ada beberapa riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan hal tersebut:

# Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Apabila iqamah telah dikumandangkan maka tidak ada shalat selain shalat fardhu” (HR Muslim)

Sebagian ulama mengatakan, kalau seandainya kita sudah di tasyahud, maka selesaikanlah shalatnya, kemudian ikut berjama’ah.

# Dari Ibnu Buhainah radhiallaahu anhu, ia berkata:
Shalat Shubuh akan segera dilaksanakan kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang sedang shalat dan muadzin sedang iqamah, maka beliau berkata: Apakah kamu melaksanakan shalat Shubuh empat raka’at?” (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Abdullah bin Sarjis radhiallaahu anhu, ia berkata:
Seorang laki-laki memasuki masjid sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sedang melaksanakan shalat Shubuh, maka laki-laki tersebut shalat dua raka’at di pinggir masjid kemudian ikut shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai mengucapkan salam beliau berkata : Wahai fulan! Diantara dua shalatmu mana yang kamu hitung? Apakah shalatmu yang sendirian atau shalatmu bersama kami?” (HR. Muslim)

Akan tetapi hadits-hadits diatas dan yang semakna dengannya, tidak dapat dijadikan dalil bahwa setiap orang yang sedang shalat sunnah harus membatalkan shalatnya tersebut ketika mendengar iqamah. Semuanya tergantung imam yang akan memimpin shalat dan sudah sampai dimana ia melaksanakan shalat sunnahnya.

Jika dia baru takbiratul ihram atau masih dipermulaan raka’at pertama kemudian mendengar iqamah dikumandangkan serta kemungkinan besar akan ketinggalan berjama’ah dengan imam (ikut takbirutul ihram bersama imam) maka dia harus membatalkan shalatnya. Tetapi jika ketika mendengar iqamah tersebut ketika ia sedang sujud raka’at kedua atau sedang ruku’ raka’at kedua dan ia yakin tidak akan ketinggalan berjama’ah bersama imam maka ia tidak perlu membatalkan shalat sunnahnya tersebut. Hanya saja ia diharuskan menyegerakan pelaksanaan shalat sunnahnya tersebut

7. Melintas Di Depan Orang Yang Sedang Shalat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang melintas di depan orang yang sedang shalat.

# Dari Abi Juhaim radhiallaahu anhu, ia berkata: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Seandainya orang yang melintas di depan orang shalat tahu dosa apa yang menimpanya, pastilah ia menunggu (hingga shalat selesai) meski selama 40 tahun karena lebih baik baginya daripada melintas di depan orang shalat. (HR. Muttafaq 'Alaih)

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Jika orang yang berjalan di depan orang yang tengah mendirikan shalat mengetahui dosa apa yang diterimanya, maka alangkah lebih baik baginya i’tikaf empat puluh daripada ia berjalan di depan orang mereka. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Hadits ini menjelaskan tentang larangan melintas di depan orang shalat yang batasnya adalah jarak antara orang itu berdiri dan titik tempat sujudnya. Baik shalat itu shalat wajib atau shalat sunnah. Juga baik shalat itu shalat sendirian atau shalat berjama’ah.

Menurut Asy-Syaukani, “Hadits di atas menjelaskan bahwasanya berjalan di depan orang yang sedang mendirikan shalat merupakan dosa besar dan dapat mengiring pelakunya masuk neraka, baik orang yang shalat itu tengah mendirikan shalat fardhu atau sunnah tanpa terkecuali.”

Namun bila melintas di luar batas (sutrah), maka hukumnya boleh. Batas itu sendiri disunnahkan untuk dibuat bagi tiap orang yang akan melaksanakan shalat. Bisa berbentuk tongkat, garis, batu, tanah atau barang bawaan seperti tas, dompet, kacamata dan lainnya. Intinya, dia meletakkan sesuatu di depannya agar orang jangan melintas di tengahnya.

# Dari Sabrah bin Ma'bad al-Juhani, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Hendaknya setiap kamu membuat batas (untuk shalat) meski hanya dengan panah.” (HR. Al-Hakim)

Adanya sutrah atau batas ini bisa dijadikan patokan bahwa bila akan melintas di depan orang yang sedang shalat, maka dibolehkan bila diluar area sujudnya yang dibatasi dengan benda-benda tertentu yang sengaja diletakkan oleh orang itu sebelum memulai shalatnya.

Dengan demikian, shalatnya itu tidak mengganggu lalu lintas orang lain yang akan masuk dan keluar masjid. Hal ini menjadi penting terutama bila ada orang yang shalat di masjid, namun posisinya di daerah dimana banyak orang lalu-lalang untuk masuk atau keluar masjid.

Bila sutrah sudah dibuat, maka haram hukumnya bagi orang lain untuk melintas di tangahnya. Dan bagi orang yang shalat, bila ada yang akan melintasi batas itu, dia berhak untuk mencegahnya.

# Dari Abi Said Al-Khudri radhiallaahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila salah seorang di antara kamu shalat dan telah membuat suatu pembatas (sutrah) yang menghalangi dari orang yang lewat, lalu jika ada orang yang ingin melintas (di dalam batas itu), maka hendaklah ia mencegahnya. Bila orang itu tetap melintas, maka perangilah dia karena dia itu (hakikatnya) adalah syetan.” (HR. Mutafaq 'Alaih)

Hadits ini memberi pengertian kepada kita bahwa seorang yang shalat harus mencegah orang melintas di depannya bila dia telah memasang batas. Bagaimana bila dia tidak memasang batas itu?
Al-Qurthubi mengatakan dalam hal ini cukup orang itu memberi isyarat dengan tangan untuk mencegah orang melintas di depannya. Bila tidak mau, maka boleh diperangi. Maksudnya boleh mencegah dengan lebih keras dari sebelumnya.

Sedangkan hikmah mengapa orang yang melintas harus dicegah, para ulama ada yang mengatakan bahwa hal itu demi kebaikan orang yang shalat agar tetap khusyu'. Selain itu juga untuk mencegah agar orang yang ingin melintas itu tidak sampai melakukan dosa akibat perbuatannya.

Balita bukanlah orang yang terkena kewajiban dan larangan dalam agama. Karena dia belum akil balihg, maka apa yang dikerjakannya berada di luar aturan-aturan syariat. Menjadi kewajiban orang tuanya untuk mengajarkan untuk tidak melanggar larangan seperti lewat di depan orang shalat. Tapi bila masih balita, satu atau dua tahun, memang belum masanya untuk diajarkan hal terlalu jauh. Bahkan sementara riwayat mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan Hasan dan Husein cucunya menungganginya saat sujud sehingga beliau sujud cukup lama untuk menunggu keduanya turun dari punggung beliau. Meski tidak langsung berkaitan dengan lewat di depan orang shalat, namun hadits-hadits seperti di atas menunjukkan adanya sikaf rifq terhadap anak kecil (balita), termasuk dalam shalat.

V. KHUSYU’ DALAM SHALAT
Tak sembarang orang mukmin yang mampu dengan mudah mengabadikan amalan shalat, apalagi dalam ujud yang sempurna rukun dan syaratnya, ditambah sejumlah sunnah-sunnah yang juga terdapat dalam shalat. Kemudahan itu hanya milik mereka yang mampu tampil khusyu' dalam shalatnya. Dalam hal itu, Allah sudah menegaskan:

# "Dan sesungguhnya yang demikian itu (shalat) amatlah berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'" (QS. Al-Baqarah: 45)

Sayangnya, kebanyakan kaum muslimin sering menjadi pelanggan shalat yang kerap alpa, dan lalai melakukannva. Itu sudah menjadi ketentuan ilahi yang akan berlaku, dan akan diperbuat oleh satu generasi di akhir jaman.

# "Maka datanglah sesudah mereka generasi yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya; maka mereka kelak akan menemui kesesatan." (QS. Maryam: 59)

Padahal, shalat adalah amalan yang paling utama, yang pertama kali akan dihisab dari seorang hamba di hari akhir nanti. Bahkan Rasulullah menjadikannya sebagai wasiat akhir sebelum kematian beliau. Beliau bersabda:

# "Allah, Allah, (Wahai kaum Muslimin) peliharalah shalat, peliharalah shalat dan bertakwalah kepada Allah, serta peliharalah para hamba sahaya yang menjadi milikmu." (HR. Abu Dawud: 5156, Ibnu Majah: 2689, Ahmad: 1/78 dan Al-Baihaqi: VIII/11, dari hadits Ali 414).

Demikianlah keagungan nilai shalat, dan demikian sebagian di antara ratusan dalil yang berbicara tentang keutamaan shalat. Dengan itu, kita dapat menilai realita yang ada di kalangan kita kaum Muslimin: Yaitu realita menganggap shalat hanya sebagai rutinitas hidup, instrumen pelengkap dalam putaran roda kehidupan, yang tak lagi memiliki ruh, kualitas dan kemuliaan yang seharusnya melekat pada ibadah shalat tersebut.

Shalat sudah dianggap melelahkan, terlalu menguras waktu, dan terkesan membosankan. Dan satu hal yang lumrah jika persepsi itu memasyarakat, karena kaum Muslimin -kecuali yang mendapat rahmat Allah- sudah kehilangan miliknya yang paling berharga dalam menjalankan shalat, yaitu: kekhusyu'an. Nabi bersabda:

# "Sesungguhnya karunia pertama yang dicabut Allah dari para hamba-Nya adalah kekhusyu'an dalam shalat." (HR. Bukhari dalam "Khalqu Af'ali Al-'Ibad" hal. 62, Ath-Thabrani dalam "Al-Mu'jam A1-Kabir": 7183, An-Nasa'i dalam "As-Sunan Al-Kubra": 5909 dan lain-lain dari Syaddad, bin 'Aus)

Oleh sebab itu, sedapat mungkin kita berupaya memperoleh kembali (kalau sungguh telah hilang dari kita) kekhusyu'an dalam shalat yang menjadi ciri mereka yang meyakini hari kebangkitan; berusaha membiasakannya dalam diri kita, bahkan mencari cara dalam ajaran As-Sunnah yang dapat menguak jalan ke arah itu.

A. DEFINISI DAN PENGERTIAN KHUSYU'
1. Secara Bahasa
Secara bahasa, kata khusyu' memiliki beberapa arti yang sama:

a) Tunduk, Pasrah. Merendah Atau Diam
Artinya mirip dengan kata khudu'. Hanya saja kata khuduk' lebih sering digunakan untuk anggota badan, sedangkan khusyu' untuk kondisi dan gerak-gerik hati (Lihat Mu'jamu Maqasiyisi al-Lughah: II/152, Bashairu Dzawi At-Tamyiz: II/541-543, Tafsir Al-Baghwi: III/301, Tafsir Abi As-Su'ud: VI/123 dan Fathul Bari: II/225)

b) Rendah Perlahan, Biasanva Digunakan Untuk Suara
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

# "Dan (khusyu') merendahlah semua suara kepada Rabb Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar melainkan bisikan saja." (QS. Ath-Thaha: 108)

c) Diam, Tak Bergerak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

# "Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, kamu lihat bumi itu diam tak bergerak, dan apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur." (QS. A1-Fushilat: 39)

2. Menurut Istilah
Khusyu' artinya: kelembutan hati, ketenangan sanubari yang berfungsi menghindari keinginan keji yang berpangkal dari memperturutkan hawa nafsu hewani, serta kepasrahan di hadapan ilahi yang dapat melenyapkan keangkuhan, kesombongan dan sikap tinggi hati.

Dengan itu, seorang hamba akan menghadap Allah dengan sepenuh hati. Ia hanya bergerak sesuai petunjuk-Nya, dan hanya diam juga sesuai dengan kehendak-Nya. (Lihat "A1-Khusyu' fi Ash-Shalah" oleh Ibnu Rajab Al-Hambali)

Adapun pengertian khusyu' di dalam shalat:

# “Kondisi hati yang penuh dengan ketakutan, mawas diri dan tunduk pasrah di hadapan keagungan Allah. Kemudian semua, itu membekas dalam gerak-gerik anggota badan yang penuh khidmat dan konsentrasi dalam shalat, bila perlu menangis dan memelas kepada Allah; sehingga tak memperdulikan hal lain.” ('Lihat Al-Khusyu' karya Al-Hilali)

Pengertian khusyu' tersebut diambil dari firman Allah:

# "..yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.." (QS. Al-Mukminun: 1-2)

Mengenai makna kekhusyu'an itu, Ibnu Abbas menandaskan: "Artinya penuh takut dan khidmat." A1-Mujahid menyatakan: "Tenang dan tunduk." Sementara Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan:

# "Yang dimaksud dengan kekhusyu’an di situ adalah kekhusyu'an hati."

Lain lagi dengan Hasan al-Bashri, beliau berkata:

# "Kekhusyu'an mereka itu berawal dari dalam sanubari, lalu terkilas balik ke pandangan mata mereka sehingga mereka menundukkan pandangan mereka dalam shalat."

Imam Atha' pernah berkata:

# "Khusyu' artinya, tak sedikitpun kita mempermainkan salah satu anggota tubuh kita."

Jadi artinya, kekhusyu’an dalam shalat bukanlah sekedar kemampuan memaksimalkan konsentrasi sehingga fikiran hanya terfokus dalam shalat. Namun kekhusyu'an lebih merupakan kondisi hati yang penuh rasa takut, pasrah, tunduk dan sejenisnya; yang membias dalam setiap gerakan shalat sehingga menjadi nampak anggun, khidmat dan tidak serampangan.

B. KIAT KHUSYU' DALAM SHALAT
Ada beberapa kiat khusyu' dalam shalat yang kerap kali disinggung oleh para ulama dalam buku-buku mereka khususnya yang berkenaan dengan hukum dan tata cara shalat. Di antaranya:

1. Mengenal Allah, Menghadirkan, Mengagungkan dan Takut Kepada-Nya
Orang yang paling khusyu' dalam shalat adalah orang yang paling bertakwa, sebagaimana firman Allah:

# “(orang-orang yang khusyu' yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Rabb mereka, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (QS. Al-Baqarah: 46)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

# "Sesungguhnya yang takut (bertakwa) kepada Allah hanyalah para ulama." (QS. Al-Fathir: 28)

Maksudnya, hanya orang-orang yang berilmu yang tergolong bertakwa kepada. Allah. Dan tentunya, hanya merekalah yang digolongkan orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya. Yang dimaksud dengan ilmu di sini tentunya ilmu yang shahih yang membuahkan amalan shalih. Karena itu Al-Hasan al-Bashri pernah menyatakan:

# "Ilmu itu ada dua macam: ilmu ungkapan lidah, dan ilmu di sanubari. Adapun ilmu sanubari, itulah ilmu yang bermanfaat. Sedangkan ilmu ungkapan lidah, adalah hujah Allah atas manusia."

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

# "Apakah kamu yang lebih beruntung wahai orang-orang musyrik, ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam, dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut akan (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya..." (QS. Az-Zumar: 9)

2. Menyadari Bahwa Shalat Adalah Perjumpaan, Sekaligus Komunikasi Dirinya Dengan Allah
Hal itu telah diisyaratkan dalam hadits Nabi:

# "Apabila seorang di antaramu sedang shalat, sesungguhnya dirinya sedang berkomunikasi dengan Allah….” (HR. Bukhari: 531, Muslim: Syarah Nawawi: 5/40-41, An-Nasa'i: 1/163. 11/52-53 dan lain-lain)

Imam Nawawi berkata:

# "Sabda beliau: "..sesungguhnya ia sedang berkomunikasi kepada Rabb-nya...", merupakan isyarat akan pentingnya keikhlasan hati, kehadirannya {dalam shalat) dan pengosongannya dari selain berdzikir kepada Allah... " (Lihat Syarhu Shahih Muslim V/40-41)

Jika.shalat adalah komunikasi seorang hamba kepada Allah, dan itu sudah disadari oleh orang yang shalat; maka sudah selayaknya hal itu memacu dirinya.untuk bersikap khusyu'. Karena diapun sadar, bahwa segala gerak hatinya, apalagi gerak tubuh kasarnva, pasti selalu diperhatikan oleh Allah.

3. Ikhlas Dalam Melaksanakannya
Keikhlasan adalah ruh amal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

# "Yang menjadikan hidup dan mati, agar Dia menguji kamu; siapakah diantara kamu sekalian yang terbaik amalannya.” (QS. Al-Mulk: 2)

Berkenaan dengan ayat ini; Fudhail bin Iyyadh pernah menyatakan:

# "Yang dimaksudkan dengan yang terbaik amalannya, adalah yang paling ikhlas dan paling benar."

Satu amalan yang dianggap pelakunya sudah ikhlas, bila tak mencocoki ajaran syari'at (benar), tak akan diterima. Demikian juga amalan yang benar sesuai ketentuan, namun tidak ikhlas karena Allah, juga tak ada gunanya. Ikhlas, artinya hanya untuk Allah. Benar, artinya menuruti Sunnah Rasul. (Lihat Al-Hilyah - oleh Abu Nu'aim: V111/59, Tafsir Al-Baghwi: 1V/369, Zadul Masir: 1V/79)

Satu amalan yang dilakukan dengan ikhlas, dengan sendirinya akan mudah meleburkan diri si hamba secara menyeluruh ke dalam ibadah itu sendiri. Karena tak satupun -menurut keyakinannya- yang pantas menguras perhatian dirinya selain Allah.

4. Mengkonsentrasikan Diri Hanya Untuk Allah
Dalam shahih Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

# "Seandainya seorang hamba (sesudah berwudhu dengan baik) tegak malakukan shalat, memuji Allah, menyanjung-Nya, mensucikan diri-Nya yang mana itu memang merupakan hak-Nya, mengkonsentrasikan diri hanya mengingat Allah; maka ia akan keluar dari shalatnya laksana bayi yang baru dilahirkan." (HR. Muslim: 832 dan Ahmad: IV / 112-385, dari hadits Amru bin Abasah)

Al-Imam Ibnu Katsir menyatakan:

# "Sesungguhnya kekhusyu’an dalam shalat itu hanya dapat dicapai oleh orang yang mengkonsentrasikan hatinya untuk shalat itu, disibukkan oleh shalat hingga tak mengurus yang lainnya; sehingga ia lebih mengutamakan shalat dari amalan yang lain."

5. Menghindari Berpalingnya Hati Dan Anggota Tubuh Dari Shalat
Aisyah pernah bertutur:

# "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang berpalingnya wajah di kala shalat, ke arah lain. Beliau menjawab: "Itu adalah hasil curian setan dari shalat seorang hamba." (HR. Bukhari: 571, Abu Dawud: 910, Tirmidzi: 589, An-Nasa'i: III/7 dan lain-lain)

Ath-Tayyibi menyatakan:

# "Dinamakan dengan "hasil curian", menunjukkan betapa buruknya perbuatan itu. karena orang yang shalat itu tengah menghadap Allah, namun setan mengintai dan menncuri kesempatan. Apabila ia lengah, setan langsung beraksi!

Imam Ash-Shan'ani menyatakan:

# "Sebab dimakruhkannya berpaling tanpa hajat di kala shalat, karena itu dapat mengurangi kekhusyu'an, dan dapat juga menyebabkan sebagian anggota badan berpaling dari kiblat. Juga karena shalat itu adalah menghadap Allah.” (Lihat Subulu As-Salam I/309-310)

6. Merenungi Setiap Gerakan Dan Dzikir-Dzikir Dalam Shalat
Firman Allah:

# “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24)

Imam Ibnul Qayyim pernah menyatakan:

# "Ada satu hal yang ajaib, yang dapat diperoleh oleh orang yang merenungi makna-makna Al-Qur'an. Yaitu keajaiban-keajaiban Asma dan Sifat Allah. Itu terjadi, tatkala orang tadi menuangkan segala curahan iman dalam hatinya, sehingga ia dapat memahami bahwa setiap Asma dan Sifat Allah itu memiliki tempat (bukan dibaca) di setiap gerakan shalat.
Artinya bersesuaian. Tatkala ia tegak berdiri, ia dapat menyadari ke-Maha Terjagaan Allah, dan apabila ia bertakbir, ia ingat akan ke-Maha Agung-an Allah.
" (Lihat Ash-Shalah karya Ibnu Qayyim)

Kata Imam Al-Ghazali dalam Al-Arba’ien:

# “Hendaklah kamu membaca ‘Allahu Akbar’ dengan mengingat bahwasanya tidak ada yang lebih besar daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala;

Hendaklah kamu membaca ‘wajjahtu wajhiya …,’ dengan perasaan bahwa kamu benar-benar menghadapkan jiwamu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpaling dari selainNya;

Hendaklah kamu membaca ‘AlhamdulilLah’, dengan ‘penuh rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segala nikmat-nikmatNya;

Hendaklah kamu membaca ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’ien’, dengan perasaan bahwa ‘kamu sangat lemah dan bahwa segala urusan itu hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata;

Dan hendaklah di tiap-tiap kamu membaca dzikir, kamu ingat makna-maknanya. Dan ketahuilah, bahwa segala yang membimbangkan kamu dari memahamkan makna apa yang kamu baca dipandang was-was


7. Memelihara Thuma'ninah (Ketenangan), Dan Tidak Terburu-buru Dalam Shalat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

# "Dan apabila kamu sudah tenang, maka dirikanlah shalat..." (QS. An-Nisa': 103)

Ayat di atas jelas mengisyaratkan bahwa ketenangan, adalah faktor vital dalam shalat yang harus diperhatikan. Sehingga "keharusan" shalat bagi seorang mukmin di saat-saat berperang dengan orang-orang kafir, dilakukan kala ia sudah kembali tenang.

Hal ini juga terpahami jelas dari hadits tentang "Shalat orang yang asal-asalan", yang lalu dikoreksi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan orang itu disuruh mengulangi shalatnya dengan sabda beliau, yang artinya:

# "...dan ruku'lah sehingga kamu thuma’ninah dalam ruku' itu, lalu tegaklah berdiri sampai kamu thuma’ninah dalam berdiri...dst." (HR. Bukhari: 757, 793, 6251 dan lain-lain, Muslim: 397, Abu Dawud: 956 dan yang lainnya)

8. Semangat Dalam Melakukannya
Ini satu hal yang lumrah. Karena tatkala seseorang shalat dengan seenaknya, malas dan tidak bersemangat; jelas tak akan dapat diharapkan kekhusyu'annya.. Oleh sebab itu, dalam hadits yang diceritakan Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki masjid. Tiba-tiba beliau melihat ada tali yang direntangkan antara dua tiang masjid tersebut. Beliau lantas bertanya:

# "Untuk apa tali ini?" Para, sahabat menjawab: "Itu punyanya Zainab. Kalau dia lagi lemas waktu shalat, itu dijadikan tempat berpegangan." maka beliau bersabda: "Lepaskan tali itu. Setiap kamu itu hendaknya shalat dengan bersemangat. Kalau dia memang merasa capek, ya istirahat dulu." (HR. Bukhari: 1150, Muslim: 784 dan lain-lain)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,

# "Apabila salah seorang di antara kamu mengantuk, sedangkan ia tengah melalukan shalat; hendaknya ia tidur terlebih dahulu sehingga hilang rasa mengantuknya. Karena kalau ia shalat terus, jangan-jangan, ia ingin beristighfar malah mencaci dirinya sendiri." (HR. Bukhari: 212, Muslim: 786, Abu Dawud: 1310, At-Tirmidzi: 388, An-Nasa’i: 11215-216, Ibnu Majah: 1370, Ahmad: VI/56, 202, 259, Ad-Darimi: 1373 dan Malik dalam Al-Muwattha': 31/118, dari hadits Aisyah)

Berkenaan dengan hal itu, Imam An-Nawawi pernah menyatakan:

# "Hadilts tersebut mengandung anjuran agar seorang hamba itu shalat dengan konsentrasi penuh, khusyu', terfokus fikirannya kepada Allah dan dengan semangat. Hadits tersebut juga menyuruh orang yang mengantuk selagi shalat itu untuk tidur dulu, atau melakukan hal lain yang dapat menghilangkan rasa kantuknya." (Lihat Syarhu An-Nawawi VI/74)

Dalam hal ini, nampak sekali kesalahan sebagian kaum Muslimin yang menganggap shalat yang khusyu' itu cenderung harus dilakukan dengan lemah gemulai dan tak bertenaga. Kalau kita tilik kembali tata cara shalat yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan kita dapati bahwa seluruh gerakan shalat secara kolektif ternyata harus dilakukan dengan bersemangat, bukan dengan melemas-lemaskan tubuh.

Ambil contoh, misalnya: ruku'. Di saat melakukan ruku', orang yang shalat diperintahkan untuk meluruskan punggung. Namun disamping itu ia juga diperintahkan untuk membengkokkan sedikit kedua tangannva. Konsekuensinya, ia harus melakukan gerakan itu dengan perhatian penuh.

Contoh lain, kala bersujud. Di saat bersujud, seorang mukmin harus meluruskan punggungnya, meluruskan pahanva, meletakkan dengan tepat tujuh anggota sujud, menekankan kening ke bumi, bertumpu pada kedua belah telapak tangan, merapatkan kedua telapak kaki, mengarahkan dengan penuh jari-jari kaki ke arah kiblat, merenggangkan kedua lengan, menjauhkan perut dengan bumi; di samping juga berdzikir, memanjangkan sujud dan lain-lain. Semuanya itu, tak syak lagi, hanya bisa dilakukan dengan penuh perhatian dan semangat yang tinggi.

9. Memilih Tempat Shalat Yang Sesuai
Artinya yang memenuhi syarat agar bisa membuat shalat kita menjadi khusyu’. Tempat tadi paling tidak harus memenuhi beberapa kriteria berikut:

a) Tenang, dan jauh dari keributan yang ditimbulkan -mungkin- oleh penuh sesaknya orang-orang yang shalat, sehingga membikin suara yang mangganggu. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah marah ketika dalam shalat beliau mendengar suara ribut di belakangnya.

b) Hadirnya para malaikat. Artinya, kita menghindari hal-hal/sesuatu yang menghalangi malaikat (rahmat) untuk memasuki tempat kita menunaikan shalat, misalnya, lukisan benda bernyawa, atau anjing. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

# "Para malaikat tidak akan memasuki satu rumah yang di dalamnya ada lukisan benda bernyawa, atau anjing." (HR. Bukhari: 4225, 3322, 4002. 5949, Muslim: 2106, Tirmidzi: 2804, An-Nasa'i: 7/185-186, dan yang lainnya)


Imam A1-Khitabi menjelaskan:

# "Yang dimaksud di situ adalah para malaikat yang datang membawa rahmat dan berkah, bukan para malaikat yang mencatat amalan seorang hamba. Karena mereka (yang kedua) itu tak pernah berpisah dengan manusia.” (Lihat "Hasyiah As-Sindi 'Ala Ibnu Majah": 11/386)

Di antaranya lagi suara-suara musik. Juga termasuk di antaranya suara bell lonceng. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

# "Sesungguhnya lonceng itu adalah seruling-seruling setan." (HR. Muslim: 2114, An-Nasa'i dalam As-Sunan Al-Kubra: 8812, Abu Dawud: 2556, Ahmad dalam Musnadnya: 11/366-3720, Al-Baihaqi dalam "As-Sunan Al-Kubra": 5/253)

10. Menghindari Segala Sesuatu Yang Menyibukkan Dan Mengganggu Shalat
Termasuk dalam lingkaran larangan itu, shalat di kala makanan sudah dihidangkan; atau shalat di kala sedang menahan buang air kecil atau besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

# “Janganlah salah seorang di antara kamu shalat, kala makanan dihidangkan, atau kala menahan buang air." (HR. Muslim: 560, Ibnu Hibban: 195 dan Al-Baghwi dalam "Syarhu As-Sunnah": 801)

Diriwayatkan dalam hadits al-Bukhari dan Muslim: 558, bahwasanya Ibnu Umar pernah dihidangi makanan; saat itu adzan berkumandang, namun beliau terus saja makan sampai selesai. Padahal beliau sudah mendengar suara bacaan imam. Di antaranya yang lain: shalat di bawah terik matahari. Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda, yang artinya:

# "Apabila matahari bersinar terik panas sekali, tundalah waktu shalat hingga cuaca dingin. Karena sesungguhnya panas yang terik itu berasal dari uap Narr Jahannam."

Yang lainnya lagi: memandang {ketika shalat) sesuatu yang merusak konsentrasi. Dari Anas diceritakan, bahwa Aisyah memiliki kain korden berhias yang menutupi sebagian tembok rumahnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

# "Singkirkan korden itu. Sesungguhnya gambar-gambarnya terus terbayang dalam diriku di waktu shalat." (HR. Bukhari: 374 dan Ahmad: III/151 - 283)

Imam Ash-Shan'ani berkomentar:

# "Sesungguhnya hadits itu mengandung larangan terhadap segala hal yang dapat mengganggu shalat. Baik itu ukiran-ukiran, hiasan-hiasan dan lain-lain.

11. Memanjangkan Bacaan
Memanjangkan bacaan surat dalam shalat, seringkali membantu proses kekhusyu'an, terutama bagi yang mengerti kandungan makna bacaan itu, atau bagi orang yang dianugerahi Allah kelembutan jiwa.

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya:
"Shalat bagaimana yang paling utama?" Beliau menjawab: "Yang panjang qunut/kekhusyu'an nya." (HR. Muslim: 756, Tirmidzi: 387, Ibnu Majah: 1421 dan Al-Baghwi dalam Syarhu As Sunnnah: 559-560)

Imam Ibnul ‘Arabi menyatakan:

# "Aku mencoba menyelidiki sumber-sumber kekhusyu'an; lalu kudapati ada sepuluh perkara:
Ketaa'atan, ibadah, kesinambungan melakukan amal shalih, shalat, bangun malam; berdiri panjang (dalam shalat), berdo’a, ketundukan, diam tenang, dan tidak menoleh-noleh. Kesemuanya adalah alternatif yang saling terkait. Namun yang paling berpengaruh adalah: ketundukan, berdiam diri dan bangun malam.
" (Lihat "Al-'Aridhah")

12. Shalat Seperti Shalatnya Orang Yang Akan Bepergian Jauh (Meninggalkan Alam Fana)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menegaskan:

# "Apabila engkau melakukan shalat, maka shalatlah kamu, dengan shalatnya orang yang akan meninggalkan alam fana... " (HR. Ibnu Majah: 4171, Ahmad: 5/412 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam "Shahih Aljami' Ash-Shaghir": 1/265)

Maksudnya adalah, agar kita shalat dengan shalatnya orang yang rindu untuk berjumpa Allah. Bukan shalatnya orang yang gila dunia, yang menjadikan dunia dan segala kesibukannya sebagai bayangan yang selalu terukir dalam benak.

Masih ada lagi beberapa kiat khusyu' lainnya, dalam shalat. Cukup dikutip sebagian di antaranya; sekedar untuk memacu diri kita agar memperbaiki kualitas shalat kita. Menghiasi dan menyempurnakannya dengan kekhusyu'an; sehingga pada akhirnya, akan menjadikan kita sebagai mukmin yang penuh keberuntungan, dunia dan akhirat. Lalu, kita berdo’a kepada Allah agar kita dijauhkan dari mereka yang disebutkan dalam firman Allah:

# "Maka sungguh satu kecelakaan yang besar bagi meraka yang telah mambatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata." (QS. Az-Zumar: 22)



DAFTAR RUJUKAN


1. 379 Petuah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Seputar Masalah Sholat, Syamsul Rijal Hamid, Mutiara Pustaka, Jakarta, Cetakan ke-2

2. 40 Manfaat Shalat Berjama’ah, Abu Abdullah Musnid Al-Qahtani,
Darul Haq, Jakarta, Cetakan Ke-2, Terjemahan dari Kitab Arba’uunan Faa’idatan Min Fawaa’idi Shalaatil Jama’ah.

3. 44 Kesalahan Orang Shalat, Syaikh Muhammad Bayumi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Cetakan Pertama, Terjemahan Kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim.

4. Ilmu Mushthalah Hadits, Drs. Moh. Anwar Bc. Hk, Al-Ikhlas, Surabaya.

5. Keluasan Tata Cara Shalat Menurut Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam , Ahmad Zubaidi, Al-Mawardi Prima, Jakarta, Cetakan Pertama.

6. Kiat Khusyu’ Dalam Shalat, Fauzan Ahmad Az-Zumari, Darul Basyair Al-Islamiyah, Beirut, Libanon, Terjemahan Kitab Kaifa Naksya’u fi Ash-Shalah.

7. Pedoman Shalat, Prof. Dr. T. Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, PT. Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan ke-22.

8. Shalat Jama’ah [Dalam Tinjauan Nash dan Sirah Salafush-Shalih], Dr. Fadhl Ilahi, Najla Press, Jakarta, Cetakan Pertama, Terjemahan Kitab Ahammiyatu Shalati Al Jama’ah fi Dhaui An-Nushush wasairi Ash-Shalihin.

9. Sifat Ibadah Nabi, Saefulloh Muhammad Satori, Pustaka Amanah, Jakarta, Cetakan Pertama.

10. Sifat Shalat Nabi, Muhammad Nashruddin Al-Albani, Media Hidayah, Yogyakarta, Cetakan Pertama Edisi Revisi, Terjemahan dari Kitab Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallama min At-Takbiiri ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa.

11. Shalatnya Orang-Orang Khusu’ Disertai Dengan Doa-Doa, Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Najla Press, Jakarta, Cetakan Pertama, Terjemahan Kitab Shalah Al Khasyi’in

12. http://www.syariahonline.com/

Badan Pelaksana:
Ketua Umum : Dr. Salim Segaf Al-Jufri, MA
Ketua Pelaksana : Dr. Surahman Hidayat, MA
Sekretaris : H. Bukhori Yusuf, MA
Bendahara : Salmin Dja'far

Konsultan Ahli:
Dr. Salim Segaf al-Jufri MA
Dr. Surahman Hidayat, MA
Dr. Daud Rasyid, MA
Dr. Mushlih Abd Kariem, MA
KH Yusuf Supendi, Lc
KH Dr. H. Ahzami Samin Jazuli, MA
H. Bukhori Yusuf, MA.
H. Abdurraqieb, Lc
H. Tajuddien Nur, Lc
Ustd. Iman Santoso, Lc

13. http://sholatkita.cjb.net/

Penyusun:
Abu Husain Abdul Wahhab
Abu Hasna Abdul Aziiz Al Jawasi
Abu Mukaffi AM Al-Jawi Al-Atsari

Muraja'ah:
Ustadz Abu Abdillah Muhamad Elvi bin Syamsi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar