Senin, 25 Juli 2011

Lain-Lain

Lain-Lain
a) Tata Cara Shalat Wanita
Tidak terdapat keterangan dari sunnah yang menerangkan adanya cara-cara khusus untuk wanita yang berbeda dengan cara yang berlaku untuk laki-laki. Bahkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan: “Shalatlah kamu sekalian seperti kalian melihat aku shalat” berlaku secara umum dan mencakup kaum wanita.

# Ibrahim An-Nakha’i menyatakan:
Dalam shalat wanita melakukan sama dengan yang dilakukan oleh laki-laki.” (HR. Ibnu Abi Syaibah 1/75/2, dengan sanad shahih)

Hadits yang menyebutkan bahwa dalam sujud wanita harus mengempitkan tangannya ke lambung, sehingga berbeda dengan laki-laki adalah hadits mursal, tidak boleh dijadikan hujjah. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Marasil 87/117, dari Yazid bin Abi Hubaib. Hadits ini telah disebutkan dalam Kitab Adh-Dhaifah no. 2652.

# Imam Bukhari dalam Kitab At-Tarikh Ash-Shaghir, hlm. 95 meriwayatkan dari Ummu Darda’ hadits shahih berbunyi:
Sesungguhnya (Ummu Darda’) dalam shalat, duduk seperti cara duduk laki-laki, padahal beliau seorang wanita ahli fiqh.

b) Shalat Rawatib Yang Di Sunnahkan
Pada dasarnya semua shalat rawatib adalah dianjurkan, hanya saja para ulama membaginya menjadi dua bagian, yaitu shalat sunnah Mu’akkadah dan shalat sunnah Ghair Mu’akkadah.

1) Shalat Rawatib Mu’akkadah
Yang termasuk shalat rawatib mu’akkadah adalah dua raka’at sebelum Shubuh, dua raka’at atau empat raka’at sebelum Dzuhur dan dua raka’at setelahnya, dua raka’at setelah Maghrib, dua raka’at setelah Isya.

Dua raka’at sebelum Shubuh dinamakan pula shalat sunnah qabla fajr.

# Dari Aisyah radhiallaahu anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dua raka’at Fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya” (HR. Muslim)

# Dari Ummu Habibah Ramlah radhiallaahu anha ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Tidak ada seorang hamba muslim yang melaksanakan shalat karena Allah dalam setiap hari dua belas raka’at berupa tathawwu’ (sunnah) bukan shalat fardhu melainkan Allah akan membangunkan bagi orang tersebut sebuah istana di surga atau melainkan akan dibangun bagi orang tersebut istana di surga.” (HR. Muslim)

# Dari Ibnu Umar radhiallaahu anhu, ia berkata:
Aku hafal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh raka’at: Dua raka’at sebelum Dzuhur, dua raka’at setelah Dzuhur, dua raka’at setelah Maghrib di rumahnya, dua raka’at setelah Isya di rumahnya dan dua raka’at sebelum Shubuh. Dan ini merupakan saat dimana seseorang tidak boleh menemuinya” (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Abdullah bin Syaqiq ia berkata: 'Aku bertanya kepada Aisyah tentang shalat sunnah yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam', ia menjawab:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat empat raka’at sebelum Dzuhur di rumahnya kemudian keluar dan melaksanakan shalat berjama’ah Dzuhur kemudian kembali ke rumah dan melaksanakan shalat dua raka’at” (HR. Muslim)

2) Shalat Rawatib Ghair Mu’akkadah
Sedangkan yang dimaksud dengan shalat rawatib ghair mu’akkaddah dan sebagian ulama menyebutnya sebagai shalat sunnah muthlaqah adalah:

i) Dua Raka’at Sebelum Ashar
# Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallaahu anhu ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Diantara adzan dan iqamah ada shalat, diantara adzan dan iqamah ada shalat, kemudian dikali ketiga beliau bersabda: “’Bagi siapa saja yang ingin melaksanakannya’” (HR. Bukhari dan Muslim)

ii) Dua Raka’at Sebelum Maghrib
# Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallaahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Shalatlah kalian sebelum Maghrib (beliau mengulangnya tiga kali). Diakhirnya beliau bersabda: Bagi siapa saja yang mau melaksanakannya. Beliau takut hal tersebut dijadikan oleh orang-orang sebagai sunnah.” (HR. Bukhari)

# Dan dalam riwayat Abu Dawud:
Shalatlah kalian sebelum Maghrib dua raka’at.” Kemudian beliau bersabda: “Shalatlah kalian sebelum Maghrib dua raka’at bagi yang mau.” Beliau takut orang-orang akan menjadikannya shalat sunnah. (HR. Abu Dawud)

# Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallaahu anhu ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Diantara adzan dan iqamah ada shalat, diantara adzan dan iqamah ada shalat, kemudian dikali ketiga beliau bersabda: “’Bagi siapa saja yang ingin melaksanakannya’” (HR. Bukhari dan Muslim)

iii) Dua Raka’at Sebelum Isya
# Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallaahu anhu ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Diantara adzan dan iqamah ada shalat, diantara adzan dan iqamah ada shalat, kemudian dikali ketiga beliau bersabda: “’Bagi siapa saja yang ingin melaksanakannya’” (HR. Bukhari dan Muslim)

c) Berpindah Tempat Ketika Akan Shalat Rawatib
Ada sejumlah riwayat yang menjelaskan bahwa berpindah tempat ketika akan melaksanakan shalat rawatib, baik qabliyah maupun ba’diyyah adalah disunnahkan.

# Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Seorang imam tidak boleh shalat di tempat dimana ia shalat sehingga ia berpindah tempat.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

# Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
Apakah kamu merasa lemah (keberatan) apabila kamu shalat untuk maju sedikit atau mundur, atau pindah ke sebelah kanan atau ke sebelah kiri” (HR. Ibnu Majah)

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa berpindah tempat ketika melaksanakan shalat adalah masyru’ (disyariatkan). Dan di antara alasan disyariatkannya hal tersebut adalah untuk memperbanyak tempat sujud atau ibadah, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Bukhari dan Al-Baghawi. Karena tempat-tempat ibadah tersebut akan memberi kesaksian di hari akhir nanti sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
# “Pada hari itu bumi menceritakan khabarnya.” (QS. Al-Zalzalah: 4)

Namun jika masjid atau mushalanya sempit, kita bisa saja meminta jama’ah yang lain untuk bergeser ke tempat kita dan kita melaksanakan shalat sunnah rawatib di tempatnya. Tetapi jika memang tidak memungkinkan juga untuk bertukar tempat, maka tidak mengapa kita melaksanakan shalat rawatib di tempat kita melaksanakan shalat fardhu.

d) Shalat Sunnah Di Rumah
Pelaksanaan shalat sunnah lebih utama dilakukan di dalam rumah kecuali shalat sunnah yang memang diperintahkan untuk dilaksanakan di mesjid, lapangan dan atau secara berjama’ah seperti shalat Tahiyyatul Masjid, shalat Khusuf, shalat Ied dan lain-lain.

# Dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
Shalatnya seseorang di rumahnya adalah lebih baik daripada shalatnya di masjidku ini kecuali shalat fardhu” (HR. Abu Dawud, Shahih Sunan Abi Dawud)

# Dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
Shalatlah wahai manusia di dalam rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya shalat yang paling utama adalah di rumah kecuali shalat fardhu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Aisyah radhiallahu anha, ia berkata:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat di rumahku empat raka’at sebelum Dzuhur, kemudian beliau keluar (masjid) lalu shalat bersama orang-orang, kemudian beliau masuk kembali ke rumahku, kemudian melaksanakan shalat dua raka’at. Dan beliau shalat Maghrib bersama orang-orang kemudian masuk ke rumah lalu shalat dua raka’at dan beliau melaksanakan shalat Isya berjama’ah, kemudian masuk ke rumahku lalu shalat dua raka’at.” (HR Muslim)

# Dari Hafshah radhiallahu anha, ia berkata:
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila muadzin telah selesai melakukan adzan untuk shalat Shubuh, beliau shalat dua raka’at yang ringan sebelum iqamah.” (HR Bukhari dan Muslim)

e) Waktu Yang Dilarang Untuk Shalat Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan ada waktu-waktu yang tidak seharusnya dilaksanakan shalat sunnah di dalam waktu itu. Ada beberapa hadits yang menerangkan hal itu. Diantaranya adalah:

# Dari Abi Said Al-Khudhri radhiallahu anhu berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Tidak ada shalat (sunnah) setelah shalat Shubuh hingga matahari terbit. Tidak ada shalat (sunnah) setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam.” (HR. Muttafaq `alaihi dan lafaz hadits ini diriwayatkan oleh Muslim)

Hadits lainnya yang juga menerangkan tentang waktu yang tidak boleh shalat sunnah di dalamnya adalah:

# Dari `Uqbah bin Amir radhiallahu anhu bahwa ada tiga waktu dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat di dalamnya dan menguburkan orang mati:
[1] Ketika matahari terbit hingga mulai naik, [2] pada saat matahari di atas ubun-ubun hingga sedikit condong, [3] ketika matahari condong menjelang ghurub (terbenam).” (HR. Muslim)

Asy-Syafi`i mengatakan bahwa larangan untuk shalat pada saat matahari tepat di atas ubun-ubun itu tidak berlaku untuk hari Jum’at.

f) Shalat Sendirian Dengan Suara Keras
Para ulama membagi shalat berdasarkan cara membacaanya menjadi dua, yaitu:

1) Shalat Jahriyyah
Yaitu shalat-shalat yang disunnahkan untuk mengeraskan bacaan Al-Fatihah dan surat di dalamnya. Yang termasuk kategori ini adalah shalat Maghrib, Isya, Shubuh, shalat Qiyamul-Lail.

2) Shalat Sirriyyah
Yaitu shalat-shalat yang disunnahkan untuk mensirkan (memelankan) bacaannya. Yang termasuk kategori ini adalah shalat Dzuhur, Ashar dan lain-lain.

Disunnahkannya pelaksanaan shalat, baik secara jahriyyah maupun siriyyah sebagaimana di atas, berlaku untuk shalat yang dilakukan secara berjama’ah maupun sendiri-sendiri atau dalam istilah fuqaha ‘munfarid’.

g) Memanjangkan Kain Melebihi Mata Kaki (Isbal)
Dalam nash hadits, masalah isbal atau memanjangkan kain melebihi mata kaki ini memang banyak disebutkan. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut:

# “Makan, minum, berpakaian dan bersedekahlah dengan tidak israf (berlebihan) dan makhilah.” (HR. Bukhari)

# “Bagian kaki yang tertutup kain di bawah mata kaki, akan disiksa di neraka.” (HR. Bukhari)

# “Pada Hari Kiamat, Allah tidak mau melihat hamba-Nya yang memanjangkan kainnya karena sombong.” (HR. Bukhari)

# “Orang yang memanjangkan kainnya karena riya`, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat.” (HR. Malik, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

# ”Barangsiapa yang memanjangkan pakaiannya karena meyombongkan diri, Allah tidak akan melihat amalnya di hari kiamat.” Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu bertanya, ”Ya Rasulullah, bagaimana jika salah satu sudut kainku menjuntai ke tanah, namun aku tidak sengaja melakukannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Kamu bukan termasuk orang yang sengaja dan berniat sombong.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan hal itu. Namun berkaitan dengan bentuk hukum yang diistimbat, para ulama berbeda pandangan tentang keharamannya.

Sebagian ulama mengaitkan hubungan antara isbal dengan motifnya, yaitu sombong dan bangga diri. Sehingga isbal itu menjadi haram bila motvasinya adalah riya, sombong dan bangga diri. Sedangkan bila tidak disertai dengan motif tersebut, maka hukumnya boleh.

Para ulama yang mengaitkan hubungan antara isbal dengan motif sombong mendasarkan pendapat mereka dengan hadits Abu Bakar, dimana beliau menanyakan hukum isbal itu. Dan ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan Abu Bakar memanjangkan kainnya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu bahwa motifnya bukan riya dan sombong.

Diantara ulama yang mendukung pendapat ini antara lain adalah Al-Imam An-Nawawi dan Al-Hafiz Ibnu Hajar serta banyak lagi di antara para pensyarah hadits.

Namun sebagian ulama lainnya menetapkan secara mutlak keharamannya, lepas dari apa motivasinya. Pendapat ini barangkali mengacu kepada beratnya ancaman buat orang yang memanjangkan pakaian hingga melebihi mata kaki

Paling tidak, hukum isbal itu tidak mutlak satu pendapat, karena masih didapat perbedaan pandangan diantara para ulama salaf sendiri tentang kemutlakan haramnya.

Namun sebagai bentuk keluar dari khilaf, ada baiknya bila seseorang berusaha agar tidak melakukan hal yang akan menimbulkan perbedaan dan khilaf.

h) Menguap Ketika Shalat
Menguap termasuk perbuatan yang dilarang dalam shalat tetapi tidak membatalkan. Oleh karena itu, jika seseorang menguap ketika shalat, maka ia diharuskan untuk menahan sekuatnya kalau tidak sanggup, ia boleh menutup mulutnya dengan tangan.

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Apabila salah seorang di antara kalian menguap ketika shalat, maka hendaklah ia menahan (agar tidak menguap) semampunya karena syetan akan masuk.” (HR. Muslim)

# Para ulama berkata:
Perintah untuk menahan untuk tidak menguap serta menolaknya juga perintah untuk menaruh tangan di mulut bertujuan agar syetan tidak sampai kepada maksudnya sehingga syetan tidak bisa mengganggu, memasuki mulut orang tersebut dan juga tidak bisa mentertawakannya” (Syarah Shahih Muslim An-Nawawi 18)

i) Mengusap Muka Setelah Shalat
Shalat merupakan ibadah mahdlah yang sudah jelas ketentuannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya kita harus mengikuti sunnah beliau agar tidak termasuk golongan yang mengada-ada dalam agama.

Banyak orang yang mengusap muka mereka setelah melakukan shalat ataupun berdo'a. Namun benarkah amalan itu pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Berikut ini kami akan sebutkan sejumlah dalil yang menjadi alasan mereka yang biasa melakukan hal tersebut serta bagaimana pandangan para ulama terhadap dalil-dali tersebut.

# Dari Hammad ibn 'Isa al-Juhani dari Hanzalah ibn Abi Sufyan al-Jamhi dari Salim ibn 'Abdullah dari bapaknya dari 'Umar ibn al-Khatthab:
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo'a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu ‘Asakir)

At Tirmidzi berkata: "Hadits ini gharib, kami hanya mendapatkannya dari Hammad ibn 'Isa Al-Juhani. Dan dia menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini. Dia hanya mempunyai (meriwayatkan) beberapa hadits saja, tapi orang-orang meriwayatkan darinya."

Bagaimanapun juga hadits ini lemah, berdasarkan pada perkataannya, Al-Hafidh Ibnu Hajar di dalam At Taqrib, dimana beliau menjelaskan tentang riwayat hidupnya dalam At Tahdzib:
"Ibnu Ma'in berkata: 'Dia adalah Syaikh yang baik', Abu Hatim berkata: 'Lemah di dalam (meriwayatkan) hadits', Abu Dawud berkata: 'Lemah, dia meriwayatkan hadits-hadits munkar'.

Hakim dan Naqash berkata: 'Dia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak kuat dari Ibnu Juraij dan Ja'far Ash Shadiq', Dia dinyatakan lemah oleh Ad-Daruqutni, Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia meriwayatkan sesuatu yang salah melalui jalur Ibnu Juraij dan Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz, tidaklah diperbolehkan untuk menjadikannya sebagai sandaran, Ibnu Makula berkata: 'mereka semua mencap hadits-hadits dari dia sebagai hadits lemah'".

Hadits yang sejenis dengan hadits yang pertama adalah:

# Dari Ibnu Lahi'ah dari Hafsh bin Hisyam bin 'Utbah bin Abi Waqqash dari Sa'ib bin Yazid dari ayahnya:
"Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya." (HR. Abu Dawud)

Ini adalah hadits dhaif berdasarkan pada Hafsh bin Hisyam karena dia tidak dikenal (majhul) dan lemahnya Ibnu Lahi'ah (Taqribut Tahdzib).

Hadits ini tidak bisa dikuatkan oleh dua jalur hadits berdasarkan lemahnya hadits yang pertama.

# Dari Shalih ibn Hassan dari Muhammad ibn Ka'ab dari Ibnu 'Abbas radhiallaahu anhu:
"Jika kamu berdo'a kepada Allah, kemudian angkatlah kedua tanganmu (dengan telapak tangan di atas), dan jangan membaliknya, dan jika sudah selesai (berdo'a) usapkan (telapak tangan) kepada muka." (HR. Ibnu Majah, Ibnu Nashr, Ath-Thabarani dan Hakim)

Lemahnya hadits ini ada pada Shalih bin Hassan, sebagai munkarul hadits, seperti dikatakan Al-Bukhari dan Nasa'i, "Dia tertolak dalam meriwayatkan hadits"; Ibnu Hibban berkata: "Dia selalu menggunakan (mendengarkan) penyanyi wanita dan mendengarkan musik, dan dia selalu meriwayatkan riwayat yang kacau yang didasarkan pada perawi yang terpercaya"; Ibnu Abi Hatim berkata dalam Kitabul 'Ilal (2/351): "Aku bertanya pada ayahku (yaitu Abu Hatim al-Razi) tentang hadits ini, kemudian beliau berkata: 'Munkar'."

Hadits dari Shalih bin Hasan ini diriwayatkan juga oleh jalur lain yaitu dari Isa bin Maimun, yaitu yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ka'ab, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashr. Tapi hal ini tidaklah merubah lemahnya hadits ini, sebab Isa bin Maimun adalah lemah.

Ibnu Hibban berkata: "Dia meriwayatkan beberapa hadits, dan semuanya tertolak". An Nasa'i berkata: "Dia tidak bisa dipercaya."

Hadits dari Ibnu Abbas ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Baihaqi, melalui jalur 'Abdul Malik ibn Muhammad ibn Aiman dari 'Abdullah ibn Ya'qub ibn Ishaq dari seseorang yang meriwayatkan kepadanya dari Muhammad ibn Ka'ab, dengan matan sebagai berikut:

# "Mintalah kepada Allah dengan (mengangkat) kedua telapak tanganmu, dan minta pada-Nya dengan membaliknya, dan jika kau selesai, maka usaplah mukamu dengannya."

Hadits ini sanadnya dhaif. Abdul Malik dinyatakan lemah oleh Abu Dawud. Dalam hadits ini terdapat Syaikhnya Abdullah bin Ya'qub yang tidak disebutkan namanya, dan tidak dikenal - Bisa saja dia adalah Shalih Bin Hassan atau Isa bin Maimun. Keduanya sudah dijelaskan sebelumnya.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hakim melalui jalur Muhammad ibn Mu'awiyah, yang berkata bahwa Mashadif ibn Ziyad al-Madini memberitahukan padanya bahwa dia mendengar hal ini dari Muhammad ibn Ka'ab al-Qurazi. Adz Dzahabi menyatakan bahwa Ibnu Mu'awiyah dinyatakan kadzab oleh Daruqutni, maka hadits ini adalah maudhu'.

Abu Dawud berkata tentang hadits ini: "hadits ini telah diriwayatkan lebih dari satu jalur melalui Muhammad ibn Ka'ab; semuanya tertolak".

Mengangkat kedua tangan ketika melakukan qunut memang terdapat riwayat dari Rasulullah tentangnya, yaitu ketika beliau berdo’a terhadap kaum yang membunuh 15 pembaca Al Qur'an (Riwayat Ahmad & Ath-Thabarani Al-Mu'jamus-Shaghir) dari Anas dengan sanad shahih. Serupa dengan yang hadits yang diriwayatkan dari Umar dan yang lainnya ketika melakukan qunut pada shalat Witir.

Namun mengusap muka sesudah do'a qunut maka tidaklah pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga dari para sahabatnya.

Sedangkan mengusap muka setelah berdo’a diluar shalat berdasarkan pada dua hadits. Dan tidaklah dapat dikatakan benar kedua hadits tersebut bisa menjadi hasan, seperti yang dikatakan oleh Al Manawi, berdasarkan pada lemahnya sanad yang ditemukan pada hadits tersebut.

Inilah yang menjadikan alasan Imam An Nawawi dalam Al Majmu bahwa hal ini tidak dianjurkan, menambahkan perkataan Ibnu 'Abdus-Salaam yang berkata bahwa: "hanya orang yang sesat yang melakukan hal ini."

Bukti bahwa mengusap muka setelah berdo'a tidak penah dicontohkan adalah dikuatkan bahwa terdapat hadits-hadits yang tsabit yang menyatakan diangkatnya tangan untuk berdo'a, tapi tidak ada satupun yang menjelaskan mengusap muka setelahnya, dengan hal ini, wallahu a'lam, hal ini tidak diterima dan tidak pernah dicontohkan.

Sumber: Kitab Irwa'ul Ghalil 2/178-182. Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.

# Dari Umar radhiallaahu anhu, ia berkata:
Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a, beliau tidak akan menarik keduanya sampai beliau mengusap wajah dengan keduanya.” (HR. At-Tirmidzi. Hadits ini didhaifkan oleh Al-‘Iraqi ketika mentakhrij Ihya ‘Ulumiddin)

# Ibnu Abbas radhiallaahu anhu berkata:
Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a beliau menggabungkan kedua telapak tangannya dan bagian dalam keduanya ditempatkan dengan wajahnya.” (HR. Ath-Thabrani. Hadits ini juga didhaifkan oleh Al-‘Iraqi ketika mentakhrij Ihya ‘Ulumiddin)

# Dari As-Saib bin Yazid dari bapaknya radhiallaahu anhu, berkata:
Sesungguhnya Nabi apabila berdo’a beliau mengangkat kedua tangannya dan mengusap wajah dengan keduanya.” (HR. Abu Dawud. Hadits ini dhaif karena dalam rawinya ada yang bernama Abdullah bin Luhai’ah, ‘Aunul Ma’bud IV/213)

# Dari Ibnu Abbas radhiallaahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
“Apabila engkau berdo’a kepada Allah, maka berdo’alah dengan bagian dalam telapak tanganmu dan janganlah kalian berdo’a dengan bagian atas dari keduanya, apabila engkau telah selesai maka usaplah wajahmu dengan keduanya” (HR. Ibnu Majah. Hadits ini didhaifkan oleh Al-Bani dalam Kitab Dhaif Sunan Ibnu Majah)

Karena kedudukan hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap wajahnya dengan kedua tanganya sehabis berdo’a adalah hadits-hadits yang oleh sebahagian ulama dikategorikan sebagai hadits-hadits yang lemah/dhoif, maka para ulama berbeda pendapat tentang disunahkan atau tidaknya hal tersebut.

Imam As-Shan’ani dalam kitabnya Subulus-Salam menyatakan bahwa hal tersebut disunahkan berdasarkan hadits-hadits di atas (Fathul ‘Allam IV/1794). Tetapi Syeikh Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa hal tersebut tidak disunnahkan (Al-Fatawa 22/514-519).

j) Shalat Di Akhir Waktu
Dalam kondisi orang yang dalam kesempitan dan tidak terkejar lagi untuk melakukan shalat karena waktunya sudah sangat kepepet masuk ke waktu shalat yang lain, maka yang harus dikerjakan adalah tetap melakukan shalat meski waktunya hampir habis.

Bahkan meskipun ketika sedang shalat itu waktunya benar-benar telah habis dan terdengar adzan untuk shalat berikutnya. Dalam kasus seperti ini, kita tidak perlu membatalkan shalat karena beranggapan bahwa sudah keluar dari waktunya.

Hal itu dilandasi dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Muslim yang menyebutkan syahnya hal tersebut.

# Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Siapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Shubuh sebelum terbitnya matahari, maka dia mendapatkan shalat subuh itu. Dan siapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Ashar sebelum terbenamnya matahari, maka dia mendapatkan shalat Ashar itu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun tentu saja hal itu tidak boleh dijadikan kebiasaan, kecuali dalam keadaan terentu saja dimana memang kita tidak mungkin menghindarinya, misalnya karena salah perhitungan dan terjebak macet total yang tidak memungkinkan untuk berhenti dan shalat di jalan. Atau karena ketiduran dan kesiangan, apalagi dengan adanya larangan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

# Ali radhiallaahu anhu mengabarkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya,
Hai Ali, tiga perkara janganlah engkau mengakhirkannya. Yaitu shalat apabila telah tiba (waktunya); jenazah apabila telah sempurna (kematiannya), dan wanita jika telah menemukan pasangan yang sepadan dengannya.” (HR. At-Tirmidzi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar