Senin, 25 Juli 2011

Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan

Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan
a) Pembesar Negara & Tuan Rumah
Imam bagi pembesar-pembesar negara (apabila shalat bersama-sama mereka) & tuan rumah (kecuali jika ia idzinkan yang lain sebagai imam).

# Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Janganlah seseorang mengimami seseorang di dalam rumah tangga orang yang di imami itu dan di dalam pemerintahannya.” (HR. Muslim, hadits shahih)

b) Kaum Yang Tidak Menyukai Kita
Janganlah mengimami suatu kaum yang tidak menyukai kita.

# Dari Abu Amir Ibnu Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Janganlah engkau mengimami suatu kaum, sedangkan mereka membencimu.” (HR. Abu Dawud).

H. ATURAN SHAF/BARISAN DALAM SHALAT BERJAMA’AH
Barisan shalat itu diatur berdasarkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan semata-mata pendekatan kehematan tempat shalat. Sebab shalat itu adalah sebuah bentuk ibadah ritual yang aturan serta ketentuannya tidak didasarkan semata-mata kepada pendekatan logika. Melainkan pendekatan sebuah ritus dan hal-hal yang bersifat sakral.

Dan satu-satunya acuan yang boleh dijadikan referensi dalam aturan shalat adalah praktek shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah pembawa risalah dari Allah Subhanahu wa Ta`ala dan menjadi teladan dalam segala masalah. Terutama dalam masalah ritual seperti shalat berjama’ah.

Beliau telah memberi petunjuk tentang bagaimana susunan barisan dalam shalat jama’ah. Intinya, posisi jama’ah shalat wanita itu di bagian belakang laki-laki. Tidak sejajar apalagi di depannya. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang. Sedangkan sebaik-baik shaf laki-laki adalah bagian terdepannya. Di tengah-tengah antara shaf laki-laki dan wanita adalah barisan anak-anak. Namun bila anak itu hanya satu saja, maka dia masuk ke dalam shaf laki-laki.

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa shaf laki-laki di depan shaf anak-anak. Dan shaf anak-anak di belakang shaf laki-laki. Sedangkan shaf wanita di belakang shaf anak-anak. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

# Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan seburuk-buruknya adalah yang paling belakang. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang dan seburuk-buruknya adalah yang paling depan.” (HR. Muslim Abu Dawud, Tirmizy, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

# Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu anhu,
… Beliau letakkan orang laki-laki di depan anak-anak, sedang anak-anak di belakang mereka, di belakang anak-anak barulah orang-orang wanita (HR. Ahmad)

Jika pintu masuk masjid hanya ada di bagian belakang saja, maka bisa dibuatkan jalan khusus bagi wanita dan bahkan bisa juga dibuatkan dinding yang membatasi jalan masuk jama’ah laki-laki, entah dengan penyekat atau pembatas lainnya.



Setiap makmum yang datang untuk shalat berjama’ah, maka dilarang untuk membuat shaf baru kecuali dengan aturan yang sudah jelas. Sebenarnya untuk mengisi shaf shalat itu mula-mula adalah disamping kanan imam, yakni bila makmumnya hanya satu orang saja. Lalu bila nanti datang lagi satu orang, maka dia berdiri di sebelah kiri makmum pertama dan imam bergeser ke depan, sehingga berdiri tepat di depan keduanya.

Tapi bila sejak awal sudah ada sekian banyak makmum, maka makmum pertama berdiri tepat di belakang imam. Bila nanti ada yang datang lagi, maka makmum yang kedua ini berdiri di sebelah kanan makmum yang pertama. Dan bila ada yang ketiga, maka di berdiri di samping kiri makmum pertama.

Bila ada yang datang lagi, maka berdiri di samping kanan makmum kedua dan bila ada yang datang lagi maka berdiri di samping kiri makmum ketiga.

Barisan shalat yang terbaik adalah yang terdepan. Dan yang paling utama dari sebuah shaf adalah pada bagian tengah atau tepat di belakang imam. Sebab dari tengah-tengah shaf itulah barisan mulai dibentuk. Kemudian di sebelah kanannya, lalu di sebelah kirinya, lalu di sebelah kanannya lagi lalu di sebelah kirinya lagi dan begitu seterusnya.
Semakin jauh dari tengah-tengah menunjukkan semakin terbelakangnya seseorang dalam bergabung dengan jama’ah shalat.
Untuk jelasnya, kami beri nomor saja para makmum itu berdasarkan urutan datangnya seperti di bawah ini agar lebih jelas.


Dan bila telah mulai shalat, maka setiap makmum yang datang, wajib untuk membuat shaf yang baru sesuai urutan di atas dan tidak memotong barisan sehingga tidak tersambung.

I. TABIR ANTARA TEMPAT LAKI-LAKI DENGAN TEMPAT WANITA
Para ulama berbeda pandangan tentang kewajiban memasang tabir antara tempat lak-laki dengan tempat wanita. Yang disepakati adalah bahwa para wanita wajib menutup aurat dan berpakaian sesuai dengan ketentuan syariat. Juga sepakat bahwa tidak boleh terjadi ikhtilat (campur baur) antara laki dan wanita. Serta haramnya khalwah atau berduaan menyepi antara laki-laki dan wanita.

Sedangkan kewajiban untuk memasang kain tabir penutup antara ruangan laki-laki dan wanita, sebagian ulama mewajibkannya dan sebagian lainnya tidak mewajibkannya.

1. Pendapat Pertama: Mewajibkan Tabir
Mereka yang mewajibkan harus dipasangnya kain tabir penutup ruangan berangkat dari dalil baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

a) Dalil Al-Qur’an
# “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu, dan Allah tidak malu kepada yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 53)

Ayat tersebut menyatakan bahwa memasang kain tabir penutup meski perintahnya hanya untuk para isteri Nabi, tapi berlaku juga hukumnya untuk semua wanita. Karena pada dasarnya para wanita harus menjadikan para istri Nabi itu menjadi teladan dalam amaliyah sehari-hari. Sehingga kihtab ini tidak hanya berlaku bagi istri-istri Nabi saja tetapi juga semua wanita mukminat.

b) Dalil As-Sunnah
# Diriwayatkan oleh Nabhan bekas hamba Ummu Salamah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ummu Salamah dan Maimunah yang waktu itu Ibnu Ummi Maktum masuk ke rumahnya. Nabi bersabda:
"Pakailah tabir." Kemudian kedua isteri Nabi itu berkata: "Dia (Ibnu Ummi Maktum) itu buta!" Maka jawab Nabi: "Apakah kalau dia buta, kamu juga buta? Bukankah kamu berdua melihatnya?"

2. Pendapat Kedua: Tidak Mewajibkan Tabir
Oleh mereka yang mengatakan bahwa tabir penutup ruangan yang memisahkan ruangan laki-laki dan wanita itu tidak merupakan kewajiban, kedua dalil di atas dijawab dengan argumen berikut :

a) Dalil Al-Qur’an
Sebagian ulama mengatakan bahwa kewajiban memasang kain tabir itu berlaku hanya untuk pada istri Nabi, sebagaimana zahir firman Allah dalam surat Al-Ahzab: 53.
Hal itu diperintahkan hanya kepada istri nabi saja karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka serta rasa hormat terhadap para ibu mukminin itu. Sedangkan terhadap wanita mukminah umumnya, tidak menjadi kewajiban harus memasang kain tabir penutup ruangan yang memisahkan ruang untuk laki-laki dan wanita.
Dan bila mengacu pada asbabun nuzul ayat tersebut, memang kelihatannya memang diperuntukkan kepada para istri nabi saja.

b) Dalil As-Sunnah
Kalangan ahli tahqiq (orang-orang yang ahli dalam penyelidikannya terhadap suatu hadits/pendapat) mengatakan bahwa hadits Ibnu Ummi Maktum itu merupakan hadits yang tidak sah menurut ahli-ahli hadits, karena Nabhan yang meriwayatkan Hadits ini salah seorang yang omongannya tidak dapat diterima.

Kalau ditakdirkan hadits ini sahih, adalah sikap kerasnya Nabi kepada isteri-isterinya karena kemuliaan mereka, sebagaimana beliau bersikap keras dalam persoalan hijab.

c) Dalil Lainnya
1) Istri Yang Melayani Tamu-Tamu Suaminya
Banyak ulama yang mengatakan bahwa seorang isteri boleh melayani tamu-tamu suaminya di hadapan suami, asal dia melakukan tata kesopanan Islam, baik dalam segi berpakaiannya, berhiasnya, berbicaranya dan berjalannya. Sebab secara wajar mereka ingin melihat dia dan dia pun ingin melihat mereka. Oleh karena itu tidak berdosa untuk berbuat seperti itu apabila diyakinkan tidak terjadi fitnah suatu apapun baik dari pihak isteri maupun dari pihak tamu.

# Sahal bin Saad al-Anshari berkata sebagai berikut:
"Ketika Abu Asid as-Saidi menjadi pengantin, dia mengundang Nabi dan sahabat-sahabatnya, sedang tidak ada yang membuat makanan dan yang menghidangkannya kepada mereka itu kecuali isterinya sendiri, dia menghancurkan (menumbuk) korma dalam suatu tempat yang dibuat dari batu sejak malam hari. Maka setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai makan, dia sendiri yang berkemas dan memberinya minum dan menyerahkan minuman itu kepada Nabi." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dari hadits ini, Syaikhul Islam Ibnu Hajar berpendapat: "Seorang wanita boleh melayani suaminya sendiri bersama orang laki-laki yang diundangnya ..."

Tetapi tidak diragukan lagi, bahwa hal ini apabila aman dari segala fitnah serta dijaganya hal-hal yang wajib, seperti hijab. Begitu juga sebaliknya, seorang suami boleh melayani isterinya dan wanita-wanita yang diundang oleh isterinya itu. Dan apabila seorang wanita itu tidak menjaga kewajiban-kewajibannya, misalnya soal hijab, seperti kebanyakan wanita dewasa ini, maka tampaknya (terlihatnya) seorang wanita kepada laki-laki lain menjadi haram.

2) Masjid Nabawi Di Zaman Rasulullah
Pandangan tidak wajibnya tabir didukung pada kenyataan bahwa masjid Nabawi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup pun tidak memasang kain tabir penutup yang memisahkan antara ruangan laki-laki dan wanita. Bahkan sebelumnya, mereka keluar masuk dari pintu yang sama, namun setelah jumlah mereka semakin hari semakin banyak, akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan satu pintu khusus untuk para wanita.

Hanya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan posisi shalat laki-laki dan wanita, yaitu laki-laki di depan dan wanita di belakang.

J. MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAF DALAM SHALAT BERJAMA’AH
Di antara syari'at yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya adalah meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat berjama’ah. Barangsiapa yang melaksanakan syari'at, petunjuk dan ajaran-ajarannya dalam meluruskan dan merapatkan shaf, sungguh dia telah menunjukkan ittiba' nya [mengikuti] dan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

# Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Apakah kalian tidak berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat di sisi Rabb mereka?" Maka kami berkata: "Wahai Rasulullah, bagaimana berbarisnya malaikat di sisi Rabb mereka?" Beliau menjawab: "Mereka menyempurnakan barisan-barisan [shaf-shaf], yang pertama kemudian [shaf] yang berikutnya, dan mereka merapatkan barisan" (HR. Muslim, An Nasa'i dan Ibnu Khuzaimah).

# Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa yang menutup kekosongan, Allah akan mengangkat derajatnya dengan hal tersebut dan akan dibangunkan sebuah istana di surga untuknya” (HR. Abu Dawud/Shahih At-Targhieb Wat Tarhieb No. 502)

# Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
Buatlah shaf-shaf, karena sesungguhnya kalian berbaris sebagaimana barisannya para malaikat. Dan sejajarkan di antara bahu-bahu, isilah kekosongan, dan hendaklah kalian memberikan kesempatan orang lain untuk ikut masuk dalam shaf, dan janganlah kalian meninggalkan celah-celah untuk syaitan, barangsiapa yang menyambungkan shaf maka Allah akan menyambungkannya. Dan barangsiapa yang memutuskan shaf maka Allah akan memutuskannya” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i/Shahih At-Targhieb Wat-Tarhieb No. 492)

# Dari An Nu'man bin Basyir, ia berkata,
Dahulu Rasullullah meluruskan shaf kami sampai seperti meluruskan anak panah hingga beliau memandang kami telah paham apa yang beliau perintahkan kepada kami (sampai shaf kami telah rapi-pent), kemudian suatu hari beliau keluar (untuk shalat) kemudian beliau berdiri, hingga ketika beliau akan bertakbir, beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya, maka beliau bersabda: "Wahai para hamba Allah, sungguh kalian benar-benar meluruskan shaf atau Allah akan memperselisihkan wajah-wajah kalian". (HR. Muslim)

# Dari Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tegakkan [luruskan dan rapatkan, pent-] shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari balik punggungku." (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Anas radhiyallahu anhu, ia berkata,
"Dan salah satu dari kami menempelkan bahunya pada bahu temannya dan kakinya pada kaki temannya." (HR. Bukhari)

# Dari Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolehkan wajahnya ke belakang ke arah kami sebelum takbiratul ihram, sembari berkata,
Perbaiki shafmu dan luruskanlah” (HR. Ahmad, hadits hasan)

# Dari Anas radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mukanya menoleh kepada manusia, lalu bersabda,
Berdirilah secara bershaf-shaf niscaya Allah mengokohkan barisan-barisanmu (persatuan di kalangan umat Islam), atau jika tidak maka Allah akan menjadikan hati-hatimu saling berselisih. Lalu Rasulullah melanjutkan sabdanya: Aku melihat seorang lelaki di antara kami menempelkan bahunya ke bahu temannya dan mata kakinya ke mata kaki temannya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan Daruqutni, hadits shahih)

# Sebagian sahabat berkata,
Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah berdiri di tempatnya untuk shalat, tidaklah terus beliau bertakbir, sebelum beliau melihat ke kanan dan ke kiri menyuruh manusia menjajarkan bahu mereka seraya bersabda: janganlah kamu maju mundur (tidak lurus), yang menyebabkan maju mundurnya jiwa-jiwa kamu” (HR. Ahmad)

Dari hadits-hadits di atas menunjukkan betapa pentingnya meluruskan dan merapatkan shaf pada waktu shalat berjama’ah karena hal tersebut termasuk kesempurnaan shalat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

# "Luruskan shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat." (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dari Anas bin Malik)

Berkata Syeikh Masyhur Hasan Salman: "Apabila jama’ah shalat tidak melaksanakan sebagaimana yang dilakukan oleh Anas dan An Nu'man maka akan selalu ada celah dan ketidaksempurnaan dalam shaf. Dan pada kenyataannya -kebanyakan- para jama’ah shalat apabila mereka merapatkan shaf maka akan luaslah shaf [menampung banyak jama’ah, pent-] khususnya shaf pertama kemudian yang kedua dan yang ketiga. Apabila mereka tidak melakukannya, maka:

Pertama: Mereka terjerumus dalam larangan syar'i, yaitu tidak meluruskan dan merapatkan shaf.

Kedua: Mereka meninggalkan celah untuk syaithan dan Allah akan memutuskan mereka, sebagaimana hadits dari Umar bin Al Khaththab bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

# "Tegakkan shaf-shaf kalian dan rapatkan bahu-bahu kalian dan tutuplah celah-celah dan jangan kalian tinggalkan celah untuk syaithan, barangsiapa yang menyambung shaf niscaya Allah akan menyambungnya dan barangsiapa memutus shaf niscaya Allah akan memutuskannya". (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim)

Ketiga: Terjadi perselisihan dalam hati-hati mereka dan timbul banyak pertentangan di antara mereka, sebagaimana dalam hadits An Nu'man terdapat faedah yang menjadi terkenal dalam ilmu jiwa, yaitu: sesungguhnya rusaknya dhahir mempengaruhi rusaknya batin dan kebalikannya. Disamping itu bahwa sunnah meluruskan dan merapatkan shaf menunjukkan rasa persaudaraan dan saling tolong-menolong, sehingga bahu si miskin menempel dengan bahu si kaya dan kaki orang lemah merapat dengan kaki orang kuat, semuanya dalam satu barisan seperti bangunan yang kuat, saling menopang satu sama lainnya.

Keempat: Mereka kehilangan pahala yang besar yang dikhabarkan dalam hadits-hadits yang shahih, di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

# "Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya bershalawat kepada orang yang menyambung shaf." (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hiban dan Ibnu Khuzaimah)

# Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih:
"Barangsiapa menyambung shaf niscaya Allah akan menyambungnya." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

# Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling lembut bahunya (mau untuk ditempeli bahu saudaranya -pent) ketika shalat, dan tidak ada langkah yang lebih besar pahalanya daripada langkah yang dilakukan seseorang menuju celah pada shaf dan menutupinya." (HR. Ath-Thabrani, Al Bazzar dan Ibnu Hiban)

Kelurusan dan kerapatan shaf dalam shalat jama’ah merupakan bagian dari kesempurnaan shalat. Karena itu seorang imam disunnahkan untuk ikut mengatur dan merapatkan barisan shalat jama’ahnya sebelum mulai shalat.

K. KEUTAMAAN SHAF PERTAMA DAN SHAF KEDUA
# “Kalaulah manusia mengetahui apa yang terdapat di adzan dan shaf pertama (dari besarnya pahala-pent) kemudian mereka tidak mendapatkan kecuali dengan diundi, maka pastilah mereka telah mengadakan undian, dan kalaulah mereka mengetahui apa yang terdapat di sikap selalu didepan, pastilah mereka telah mendahuluinya, dan kalaulah mereka mereka mengetahui apa yang terdapat di shalat Isya dan shalat Shubuh (dari keuntungan) maka pastilah mereka mendatangi keduanya walaupun dengan merayab.” (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Al-Bara’, ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya mengucapkan shalawat untuk orang-orang yang di shaf pertama dan di shaf-shaf yang pertama.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)

# Dari Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu,
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bershalawat kepada shaf pertama tiga kali dan kepada shaf kedua satu kali.” (HR. An-Nasa’i)

# “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk shaf pertama tiga kali dan untuk shaf kedua satu kali.” (HR. Ibnu Majah)

L. MAKMUM YANG TIDAK MASUK KE DALAM SHAF
Umumnya makmum yang tidak masuk ke dalam shaf adalah makmum yang datang terlambat ke masjid, sedangkan shalat telah dimulai.
Ada 2 kondisi yang menyebabkan tidak masuknya makmum yang terlambat ini ke dalam shaf, yaitu:

Pertama, shaf-shaf shalat jama’ah belum sempurna (belum penuh) tetapi dia enggan masuk/bergabung dengan shaf tersebut, malahan membentuk shaf baru walaupun dia hanya sendirian.

# Dari Wabishah bin Ma’bid, ia berkata:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang sebenarnya bisa masuk ke dalam shaf –akan tetapi ia tidak melakukan itu, dan berdiri sendiri- untuk mengulang shalatnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ath-Thayalisi, Al-Baihaqi dan Inu Hazm, hadits shahih)

Kedua, shaf-shaf shalat jama’ah telah sempurna, maka lazimnya, dia akan melakukan salah satu dari 5 hal berikut:

1. Menjauh dari shaf dan shalat sendirian.
2. Menarik seseorang dari shaf dan shalat bersamanya di dalam shaf baru.
3. Maju mendekati imam dan shalat di sampingnya.
4. Menunggu sambil berdiri, atau
5. Shalat sendirian dalam shaf baru, di belakang shaf lama.

Ad1) Jika dia memisahkan diri dan shalat sendiri, maka berarti dia tidak akan mendapatkan pahala tempat maupun perbuatan berjama’ah.

Ad2) Jika dia menarik seseorang dari shaf kemudian shalat bersamanya, ada beberapa kendala; Pertama, dia telah memindahkan orang ini dari posisinya yang utama ke posisi yang tidak utama. Kedua, dia telah mengganggu shalat orang tersebut. Ketiga, dia telah membuka celah dalam shaf. Keempat, dia telah menyebabkan semua orang yang berada dalam shaf bergerak. Karena biasanya jika ada celah dalam shaf, maka mereka bergerak saling merapatkan shaf. Dengan demikian, hal ini –atau menarik mundur seseorang dalam shaf- tidak disyariatkan.

Ad3) Jika dia maju ke depan mendekati imam, ada dua kendala; Pertama, dia telah mengganggu orang-orang yang sedang shalat dengan melangkahi bahu-bahu mereka, jika terdapat beberapa shaf. Kedua, jika dia datang dari pintu depan dan berdiri sejajar imam, maka hal tersebut bertentangan dengan sunnah imam berdiri sendiri di tempatnya. Dan hal itu juga merupakan kendala ketiga, yaitu bahwa imam disunnahkan berdiri sendiri, jika makmumnya lebih dari dua orang.

Ad4) Jika dia menunggu sampai ada yang dating, maka belum tentu ada yang datang, ini tidak pasti.

Ad5) Jika dia bergabung bersama jama’ah dan terpisah tempatnya (berdiri di belakang shaf), tetapi perbuatannya tetap berjama’ah. Dan bisa berjama’ah dalam perbuatan, lebih baik daripada tidak berjama’ah sama sekali. Karena itu, pendapat ini dipilih oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

M. POSISI MAKMUM DALAM SHALAT BERJAMA’AH
Dalam kitab Syarh Al-Muhadzab, Imam An-Nawawi mengharamkan seorang makmum untuk mendahului imamnya. Sedangkan sebagian jumhur ulama menganggap bahwa makmum tersebut telah melakukan dosa, sekalipun shalatnya sah. Sedangkan Ibnu Umar, salah satu pengikut pendapat Imam Ahmad dan ahli dzahir menganggap bahwa shalat makmum tersebut batal, karena larangan itu sendiri telah menunjukkan bahwa shalat tersebut tidak sah.

Dan dalam kitab Al-Mughni, Imam Ahmad mengatakan bahwa berdasarkan pada hadits di atas, maka shalat makmum yang mendahului imamnya tidak sah.

# Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Bahwasanya dijadikan imam adalah untuk di ikuti, karena itu apabila imam telah bertakbir, maka bertakbirlah kamu dan apabila imam telah mengangkat kepalanya maka angkatlah kepalamu, dan apabila imam shalat dengan duduk, maka shalatlah kamu dengan duduk pula.” (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Aku adalah imammu, karena itu janganlah kamu mendahului aku dengan ruku’, dengan sujud, dengan berdiri, dengan berpaling (salam), karena sebenarnya aku melihat kamu dari mukaku dan dari belakangku. Kemudian Nabi berkata: Demi Tuhan yang jiwaku di tanganNya, sekiranya kamu melihat apa yang aku lihat, tentulah kamu akan tertawa sedikit dan menangis banyak.” (HR. Muslim, shahih).

# Dari Anas bin Malik, ia berkata: Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama kami. Ketika beliau selesai melaksanakan shalat, beliau memalingkan wajahnya ke arah kami, kemudian beliau bersabda,
Wahai manusia, aku adalah pemimpin kalian, maka kalian jangan mendahuluiku baik dalam ruku’, sujud, berdiri, ataupun meninggalkan tempat shalat. Karena sesungguhnya aku melihat kalian di depanku dan di belakangku.” (HR. Muslim)

# Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Orang yang mengangkat kepalanya (dalam shalat) sebelum imam, maka Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala keledai.” (HR. Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

# Pada riwayat lain dikatakan,
Maka Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala anjing.” (HR. Muslim)

# Dari Abdullah bin Yazid, Al-Barra berbicara kepadaku,
… Apabila kami yakin beliau telah bersujud, barulah kami bersujud setelahnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)

Imam Al-Jauzi memberikan penjelasan bahwa, seorang makmum tidak diperbolehkan untuk ruku’ sampai imamnya melakukan ruku’ secara sempurna. Kemudian ia melanjutkan, “Akan tetapi jangan sampai tertinggal oleh imam. Tegasnya, setelah imam ruku’, seorang makmum harus cepat mengikutinya sebelum imam tersebut mengangkat kepalanya.”

Seorang makmum, selain tidak diperbolehkan untuk mendahului imam dalam ruku’, sujud dan gerakan lain dalam shalat, ia juga tidak diperbolehkan ketinggalan dalam mengikuti gerakan imamnya.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Seorang makmum dalam shalat akan berada pada empat kondisi:

1. Mendahului (al-Musabaqah)
Adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang makmum sebelum dilakukan oleh imamnya. Dan perbuatan ini diharamkan. Apabila seorang makmum mendahului imam dalam takbiratul ihram, maka shalatnya tidak sah. Sehingga secara tidak langsung ia harus mengulangi kembali shalatnya dari awal.

2. Berbarengan (al-Muwafaqah)
Adalah suatu bentuk gerakan yang dilakukan oleh makmum sama persis waktunya dengan gerakan imam. Sehingga ia akan melakukan ruku’ bersamaan dengan ruku’nya imam, bersujud bersamaan dengan sujudnya imam dan bangun bersamaan dengan bangunnya imam. Maka berdasarkan dalil hadits yang ada, hal tersebut diharamkan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,

# “Janganlah kalian ruku’ sampai imam melakukan ruku’. Dan janganlah kalian bertakbir sampai imam melakukan takbir.” (HR. Bukhari)

Sebagian ulama menganggap bahwa hal tersebut makruh dan bukan haram, kecuali dalam takbiratul ihram. Sehingga, ketika seorang makmum bertakbir bersamaan dengan takbirnya imam, maka shalatnya tidak sah, sehingga ia harus mengulangi kembali shalatnya tersebut.

3. Mengikuti (al-Mutaba’ah)
Adalah melakukan gerakan shalat sesuai dengan gerakan imamnya tanpa ketinggalan sedikit pun. Dan sebenarnya, inilah yang dituntut oleh agama.

4. Tertinggal (al-Mukhalafah)
Adalah suatu hal yang sangat bertentangan dengan apa yang disyariatkan dalam agama. Sebagai contoh, seorang imam telah berdiri dari sujud, sedangkan anda sebagai seorang makmum malah asyik masyuk dalam sujud. Sekalipun anda sangat ingin berdo’a yang panjang dalam sujud, dan memang salah satu tempat do’a mustajab adalah dalam sujud, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

# “Perbanyaklah do’a di dalam sujud. Karena kemungkinan diterimanya akan lebih.” (HR. Muslim, hadits shahih).

Akan tetapi, anda harus ingat bahwa pada saat ini anda sedang terikat dengan seorang imam. Selama seorang makmum terikat dengan imamnya, maka ia harus mengikutinya. Apabila imam telah berdiri, maka berdirilah.

Dalam buku Shalatul Jama’ah hal. 178-179, Prof Dr. Sholih bin Ghonim As-Sadlan, menyebutkan bahwa jika makmum ketinggalan untuk mengikuti (mutaba’ah) imam tanpa ada udzur (karena ngantuk, lalai, atau imam terburu-buru), tetapi karena sengaja melakukannya, maka shalatnya adalah batal.

N. TAKBIRATUL IHRAM
Takbiratul ihram harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).

# Muhammad Ibnu Rusyd berkata,
"Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafalkannya di mulut."

1. Tidak Mengeraskan Suara Ketika Mengucapkan Lafal Takbir
# An Nawawi berkata,
"…adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafal takbir, baik apakah dia sedang menjadi makmum atau ketika shalat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an, takbir, membaca tasbih ketika ruku', tasyahud, salam dan do’a-do’a dalam shalat baik yang hukumnya wajib maupun sunnah…" beliau melanjutkan, "Demikianlah nash yang dikemukakan Syafi'i dan disepakati oleh para pengikutnya. Asy Syafi'i berkata dalam al-Umm, 'Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada disampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.'." (al Majmuu' III/295).

2. Keutamaan Mendapatkan Takbiratul Ihram Bersama Imam
# Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa telah melakukan shalat karena Allah selama 40 hari berjama’ah, ia mendapatkan takbir pertama (takbiratul ihram dengan imam –pent), maka dicatatlah baginya dua kebebasan; kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari kemunafikan. (H.R. Tirmidzi dari Anas, dihasankan oleh Syeikh Al Albani di kitab shahih Al Jami’ II/1089).

O. BACAAN MAKMUM
Dalam masalah bacaan makmum di belakang imam, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa semua bacaan imam merupakan bacaan makmum sehingga makmum tidak perlu membaca apa-apa. Ada juga yang mengharuskan makmum membaca Al-Fatihah saja, sedangkan bacaan ayat Al-Quran yang lain tidak tidak perlu dibaca, cukup dengan mendengarkan bacaan imam. Dan pendapat lainnya. Rincinya adalah sebagai berikut :

1. Madzhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Menurut Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah bahwa makmum harus membaca bacaan shalat di belakang imam pada shalat yang sirr (suara imam tidak dikeraskan) yaitu shalat Dzuhur dan Ashar. Sedangkan pada shalat jahriyah (Maghrib, Isya, Shubuh, Jumat, Ied, dll.), makmum tidak membaca bacaan shalat.

Namun bila pada shalat jahriyah itu makmum tidak dapat mendengar suara bacaan imam, maka makmum wajib membaca bacaan shalat.

# Dari Malik dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai dari shalat yang beliau mengeraskan bacaannya. Lalu beliau bertanya,
"Adakah diantara kamu yang ikut membaca juga tadi?". Seorang menjawab,"Ya, saya ya Rasulullah". Beliau menjawab, "Aku berkata mengapa aku harus melawan Al-Quran?" Maka orang-orang berhenti dari membaca bacaan shalat bila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengeraskan bacaan shalatnya (shalat jahriyah)." (HR. Tirmizi).
2. Madzhab Al-Hanafiyah
Sedangkan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa seorang makmum tidak perlu membaca apa-apa bila shalat di belakang imam, baik pada shalat jahriyah maupun shalat sirriyah.

# Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,
"Siapa shalat di belakang imam, maka bacaannya adalah bacaan imam.” (HR. Ad-Daruquthuny dan Ibnu Abi Syaibah)

3. Madzhab Asy-Syafi’iyyah
Dan Asy-Syafi`iyah mengatakan bahwa pada shalat sirriyah, makmum membaca semua bacaan shalatnya, sedangkan pada shalat jahriyah makmum membaca Al-Fatihah (Ummul Kitab) saja.

# Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang maknanya :
Tidak ada shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim dalam Mustadrak).

# “Apabila imam membaca maka diamlah.” (HR. Ahmad)

# Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat mengimami kami siang hari, maka bacaannya terasa berat baginya. Ketika selesai beliau berkata,
"Aku melihat kalian membaca di belakang imam". Kami menjawab,"Ya ". Beliau berkata, "Jangan baca apa-apa kecuali Al-Fatihah saja". (Ibnu Abdil berkata bahwa hadits itu riwayat Makhul dan lainnya dengan isnad yang tersambung shahih).

4. Kalangan Ulama Lainnya
Pada shalat berjama'ah ketika imam membaca Al-Fatihah secara sirr (tidak diperdengarkan) yakni pada shalat Dzuhur, 'Ashr, satu raka'at terakhir shalat Mahgrib dan dua raka'at terakhir shalat Isya, maka para makmum wajib membaca surat Al-Fatihah tersebut secara sendiri-sendiri secara sirr (tidak dikeraskan).

Lantas bagaimana kalau imam membaca secara keras…?
Tentang ini Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa pernah Rasulullah melarang makmum membaca surat di belakang imam kecuali surat Al-Fatihah:

# "Betulkah kalian tadi membaca (surat) di belakang imam kalian?" Kami menjawab: "Ya, tapi dengan cepat wahai Rasulallah." Berkata Rasul: "Kalian tidak boleh melakukannya lagi kecuali membaca Al-Fatihah, karena tidak ada shalat bagi yang tidak membacanya." (HR.Bukhari, Abu Dawud, dan Ahmad, dihasankan oleh At-Tirmidzi dan Ad-Daruqutni)

Selanjutnya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam melarang makmum membaca surat apapun ketika imam membacanya dengan jahr (diperdengarkan) baik itu Al-Fatihah maupun surat lainnya. Hal ini selaras dengan keterangan dari Al-Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal tentang wajibnya makmum diam bila imam membaca dengan jahr/keras. Berdasar arahan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

# Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Dijadikan imam itu hanya untuk diikuti. Oleh karena itu apabila imam takbir, maka bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan bacaan imam itu)" (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa-i, hadits shahih).

# Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Apabila imam bertakbir, bertakbirlah kamu dan apabila imam membaca, maka berdiamlah kamu serta perhatikanlah bacaannya.” (HR. Muslim)

# "Barangsiapa shalat mengikuti imam (bermakmum), maka bacaan imam telah menjadi bacaannya juga." (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ad-Daruqutni, Ibnu Majah, Thahawi dan Ahmad).

# Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah mendirikan shalat yang beliau keraskan bacaanya dalam shalat itu, beliau bertanya:
"Apakah ada seseorang diantara kamu yang membaca bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki menjawab, "Ya ada, wahai Rasulullah." Kemudian beliau berkata, "Sungguh aku katakan: Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al-Qur-an (juga)." Berkata Abu Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari membaca bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada shalat-shalat yang Rasulullah keraskan bacaannya, ketika mereka sudah mendengar (larangan) yang demikian itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An Nasa-i dan Malik. Abu Hatim Ar Razi menshahihkannya, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).

Hadits-hadits tersebut merupakan dalil yang tegas dan kuat tentang wajib diamnya makmum apabila mendengar bacaan imam, baik Al-Fatihahnya maupun surat yang lain. Selain itu juga berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):

# "Dan apabila dibacakan Al-Qur-an hendaklah kamu dengarkan ia dan diamlah sambil memperhatikan (bacaannya), agar kamu diberi rahmat." (Al-A'raaf: 204).

Ayat ini asalnya berbentuk umum yakni dimana saja kita mendengar bacaan Al-Qur’an, baik di dalam shalat maupun di luar shalat, wajib diam mendengarkannya walaupun sebab turunnya berkenaan tentang shalat. Tetapi keumuman ayat ini telah menjadi khusus dan tertentu (wajibnya) hanya untuk shalat, sebagaimana telah diterangkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Adh-Dhahak, Qatadah, Ibrahim An Nakha-i, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan lain-lain. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir II/280-281]

Semua perbedaan ini berangkat dari perbedaan nash yang ada, dimana masing-masing mengantarkan kepada bentuk pemahaman yang berbeda juga.

Bila dilihat dari masing-masing dalil itu, nampaknya masing-masing sama kuat walaupun hasilnya tidak sama. Dan hal ini tidak menjadi masalah manakala memang sudah menjadi hasil ijtihad.

Namun kalau boleh memilih, nampaknya apa yang disebutkan oleh kalangan Asy-Syafi`iyah bahwa makmum membaca Al-Fatihah sendiri setelah selesai mendengarkan imam membaca Al-Fatihah, merupakan penggabungan (jam`) dari beragam dalil itu. Ini sebuah kompromi dari dalil yang berbeda. Karena ada dalil yang memerintahkan untuk membaca Al-Fatihah saja tanpa yang lainnya. Tapi ada juga yang memerintahkan untuk mendengarkan bacaan imam. Karena itu bacaan Al-Fatihah khusus makmum bisa dilakukan pada sedikit jeda antara amin dan bacaan surat. Dalam hal ini, seorang imam yang bijak tidak akan langsung memulai bacaan ayat Al-Qur’an setelah amin. Tapi memberi kesempatan waktu untuk makmum membaca Al-Fatihahnya sendiri.

P. MEMBACA AMIN
1. Hukum Membaca Amin Bagi Imam
Membaca amin disunnahkan bagi imam.

# Dari Abu Hurairah, dia berkata:
"Dulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, jika selesai membaca surat Ummul Kitab (Al-Fatihah) mengeraskan suaranya dan membaca amin." (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ad-Daruqutni dan Ibnu Majah, oleh Al-Albani dalam Al-Silsilah Al-Shahihah dikatakan sebagai hadits yang berkualitas shahih)

# "Bila Nabi selesai membaca Al-Fatihah (dalam shalat), beliau mengucapkan amin dengan suara keras dan panjang." (HR. Bukhari dan Abu Dawud, hadits shahih)

Hadits tersebut di atas mensyari'atkan para imam untuk mengeraskan bacaan amin, demikian yang menjadi pendapat Al-Imam Al-Bukhari, As-Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan para imam fikih lainnya. Dalam shahihnya Al-Bukhari membuat suatu bab dengan judul 'baab jahr al-imaan bi al-ta-miin' (artinya: bab tentang imam mengeraskan suara ketika membaca amin). Di dalamnya dinukil perkataan (atsar) bahwa Ibnu Al-Zubair membaca amin bersama para makmum sampai seakan-akan ada gaung dalam masjidnya. Juga perkataan Nafi' (maula Ibnu Umar): Dulu Ibnu Umar selalu membaca amin dengan suara yang keras. Bahkan dia menganjurkan hal itu kepada semua orang. Aku pernah mendengar sebuah kabar tentang anjuran dia akan hal itu."

2. Hukum Membaca Amin Bagi Makmum
Ucapan amin dari makmum dikaitkan dengan ucapan amin dari imam, karena harus terdengar suaranya. Para sahabat Rasulullah juga mengucapkan amin di belakangnya dengan suara keras, sehingga masjid terasa bergema oleh suara mereka.

Dalam hal ini ada beberapa petunjuk dari Nabi (Hadits), atsar para sahabat dan perkataan para ulama.

# Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila imam membaca amin, maka aminilah oleh kalian” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal ini mengisyaratkan bahwa membaca amin itu hukumnya wajib bagi makmum. Pendapat ini dipertegas oleh Asy-Syaukani. Namun hukum wajib itu tidak mutlak harus dilakukan oleh makmum. Mereka baru diwajibkan membaca amin ketika imam juga membacanya. Adapun bagi imam dan orang yang shalat sendiri, maka hukumnya hanya sunnah. (lihat Nailul Authaar, II/262).

3. Mengucapkan Amin Bersamaan Dengan Imam
# Syaikh Al-Albani mengomentari masalah ini sebagai berikut:
"Aku berkata: Masalah ini harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan dengan cara meninggalkannya. Termasuk kesempurnaan dalam mengerjakan masalah ini adalah dengan membarengi bacaan amin sang imam, dan tidak mendahuluinya. (Tamaamul Minnah hal. 178)

# "Bila imam selesai membaca ghairil maghdhuubi 'alaihim waladhdhaaalliin, ucapkanlah amiin [karena malaikat juga mengucapkan amiin dan imam pun mengucapkan amin]. Dalam riwayat lain: "(apabila imam mengucapkan amin, hendaklah kalian mengucapkan amin). Barangsiapa ucapan aminnya bersamaan dengan malaikat, (dalam riwayat lain disebutkan: "bila seseorang diantara kamu mengucapkan amin dalam shalat bersamaan dengan malaikat dilangit mengucapkannya), dosa-dosanya masa lalu diampuni." (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa-i dan Ad-Darimi)

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Jika imam membaca amin, maka bacalah amin olehmu. Karena siapa yang mengikuti ucapan amin sang imam, para malaikat juga mengucapkan amin. Dan Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari).

# Menurut Ar-Rafi’i,
Yang lebih utama adalah apabila ucapan amin ini diucapkan bersamaan antara makmum dan imam, tidak sebelum dan tidak juga setelahnya…

# Menurut Syaikh Muhammad Bayumi dalam kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim,
Mendahului imam dalam mengucapkan amin adalah suatu kesalahan dan yang benar adalah hendaknya makmum mengucapkan amin berbarengan dengan imam, agar harapan diampunkan lebih besar.”

Q. BACAAN SURAT SETELAH AL-FATIHAH
Hukum membaca surat selain Al-Fatihah dalam shalat adalah sunnah. Dan dalam pelaksanaannya seseorang bisa memilih surat atau ayat yang mana saja, yang dia bisa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri terkadang membaca surat-surat yang panjang dan terkadang hanya membaca surat-surat yang pendek. Biasanya beliau lakukan hal tersebut jika ada hal yang mengganggu seperti dalam perjalanan, sakit atau pun tangisan bayi.

# Seorang tabi’it bertanya kepada Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu anhu tentang shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Abu Sa’id menjawab:
Tidak ada gunanya engkau mengetahuinya, karena engkau tak mau melaksanakannya.

Kemudian yang bertanya mengulangi lagi pertanyaannya. Maka Abu Sa’id radhiyallahu anhu berkata:
Ketika shalat Dzuhur didirikan, maka pergilah salah seorang dari kami ke Baqie, dan melepaskan hajatnya disana. Kemudian dia datang kepada keluarganya, lalu mengambil air wudhu’, kemudian ia kembali ke masjid, sedangkan Nabi masih dalam raka’at yang pertama, karena beliau memanjangkannya.” (HR. Ahmad).

# Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata:
"Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan bacaan shalat Shubuh (dalam hadits yang lain: Beliau membaca dua surat yang paling pendek). Kemudian beliau ditanya: ‘Kenapa anda meringankan bacaan?’ Beliau menjawab: ‘Aku mendengar tangisan anak kecil, maka aku mengira ibunya sedang shalat bersama kita, sehingga aku bermaksud ibunya segera mengurusi anak tersebut" (HR. Ahmad)

# Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Aku sedang melaksanakan shalat dan bermaksud memanjangkan bacaannya kemudian aku mendengar tangisan anak kecil, lalu aku meringankan bacaan dalam shalatku karena aku mengetahui bagaimana kesedihan yang sangat yang dirasakan ibu tersebut akibat tangisan anaknya" (HR.Bukhari dan Muslim).

# Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila seseorang kamu mengimami manusia, maka hendaklah dia meringankan shalat, karena di antara mereka ada yang kecil dan ada yang tua, ada yang lemah, ada yang sakit; apabila ia bershalat sendiri, hendaklah ia shalat sesuai yang ia kehendaki.” (HR. Bukhari dan Muslim).

# Dari Jabir radhiyallahu anhu, ia berkata: Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz tatkala Mu’adz memanjangkan bacaan dalam shalat Isya beserta kaumnya (membaca surat Al-Baqarah):
Apakah (kenapakah) engkau ingin menghasilkan fitnah, hai Mu’adz? (3 kali). Apakah tidak baik engkau membaca Sabbihisma Rabbikal a’la: Wasysyamsii wa dluhaha, Wal laili idza yaghsya, karena di belakang engkau, shalat orang tua, orang lemah, anak kecil dan yang mempunyai keperluan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits Mu’adz yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci kita memanjangkan shalat, haruslah diperhatikan awal akhirnya. Tak boleh kita hanya mengambil perkataan: “apakah engkau ingin menghasilkan fitnah, hai mu’adz?”

Kisah Mu’adz itu, begini:
Pada suatu malam, sesudah Mu’adz shalat Isya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliaupun pulang ke kampungnya. Sesampai di kampung, beliau meng-imami kaumnya dengan membaca surat Al-Baqarah. Ketika malam telah larut, salah seorang di antara makmum meneruskan shalat sendirian, lalu dia dituduh munafiq. Karena dia dituduh munafiq, maka dia pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan hal tersebut. Ia menjelaskan bahwa ia berbuat demikian karena sangat perlu menyirami kurmanya. Setelah mendengarkan penjelasan orang tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz: “Apakah engkau ingin menghasilkan fitnah, hai Mu’adz? Bacalah Sabbihisma Rabbikal a’la dan yang setara denganya.

Maka dengan ini jelaslah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita membaca surat yang paling panjang ketika shalat di malam yang telah larut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan menyuruh kita membaca surat sependek-pendeknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh membaca Sabbihisma Rabbikal a’la dan yang setara dengannya sesudah jauh malam, karena dipandang paling singkat.

# Dari Amar bin Huraits, ia berkata:
Bahwasanya Nabi shalat Shubuh dengan (membaca surat) wallaili idza yaghsya.” (HR. Muslim).

Hadits Amar bin Huraits ini ditetapkan ketika shalat Shubuh di dalam safar.

# Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu, ia berkata:
Adalah aku menuntun unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar, maka Nabi berkata: Apa tidak baik aku ajarkan kepadamu dua surat yang belum pernah dibaca yang semisalnya? Aku menjawab: Baik sekali. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku surat Al-Falaq dan surat An-Nas. Beliau melihat aku tiada tertarik hati kepada surat itu. Sesudah beliau turun untuk shalat Shubuh, beliaupun membaca surat itu dalam shalat. Kemudian beliau berkata: Bagaimana pendapat engkau?.” (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)

Hadits ‘Uqbah yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al Mu’awwidzataini: qul ‘audzu bi Rabbil falaq dan qul ‘audzu bi Rabbin nas di shalat Shubuh ditetapkan ketika shalat dalam safar.

Ada sejumlah hadits yang menjelaskan tentang bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau melaksanakan shalat-shalat fardhu, hadits-hadits itu, antara lain:

1. Shalat Shubuh
Pada shalat Shubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca surat-surat mufashal yang panjang-panjang (HR. An-Nasa’i dan Ahmad, hadits shahih)

Yang dimaksud dengan surat-surat Al-Mufashal adalah surat-surat yang terdapat dalam Al-Qur’an mulai surat Qaf sampai akhir Al-Qur’an sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari jilid II halaman 259.

Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca surat Al-Waqi’ah (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim), surat At-Thur (HR. Bukhari), dan terkadang beliau membaca surat-surat Al-Mufashal yang pendek seperti surat At-Takwir (HR. Muslim dan Abu Dawud). Bahkan dalam riwayat Abu Dawud, beliau pernah membaca surat Al-Zalzalah dalam kedua raka’at shalat Shubuh sehingga rawi hadits berkata: “Aku tidak mengetahui apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lupa atau sengaja melakukannya” (HR Abu Dawud Bab mengulang bacaan satu surat dalam dua raka’at) Dan apabila di hari Jum’at beliau membaca surat Alif Lamim Sajdah dan surat Al-Insan (HR Bukhari dan Muslim).

2. Shalat Dzuhur
Pada shalat Dzuhur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat At-Thoriq, Al-Buruj, Al-Lail (HR Abu Dawud dan Tirmidzi) dan terkadang beliau membaca surat Al-Insyiqoq (HR. Ibnu Khuzaimah)

3. Shalat Ashar
Ketika shalat Ashar beliau membaca kurang lebih lima belas ayat atau setengah dari yang beliau baca ketika melaksanakan shalat Dzuhur. (HR. Muslim).
Terkadang juga beliau membaca surat-surat sebagaimana yang beliau baca dalam shalat Dzuhur seperti At-Thariq, Al-Buruj, Al-Lail dan surat Al-Insyiqaq (HR Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)

4. Shalat Maghrib
Pada shalat Maghrib beliau membaca surat At-Thur (HR. Bukhari dan Muslim), Al-Mursalat (HR Bukhari dan Muslim) Al-Anfal (HR At-Thabrani), Al-A’raf (HR Bukhari dan Abu Dawud)

5. Shalat Isya
Sedangkan pada shalat Isya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat-surat Al-Mufashal yang pertengahan (HR An-Nasa’i dan Ahmad), surat As-Syamsi dan yang menyerupainya (HR Ahmad dan At-Tirmidzi), surat Al-Insyiqaq (HR Bukhari dan Muslim) dan surat At-Tin ketika sedang dalam perjalanan (HR Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi semua hadits-hadits di atas tidak menunjukkan bahwa kita harus membaca surat-surat sebagaimana yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baca dalam shalat-shalat fardhu karena dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca semua surat-surat Al-Mufashal dalam shalat-shalat yang Fardhu.

# Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu anhu ia berkata:
Tidak ada satu surat pun dari Al-Mufashal baik yang pendek maupun yang panjang melainkan aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya ketika mengimami orang-orang pada shalat-shalat Fardhu” (HR Abu Dawud)

Hadits ini menunjukan bahwa kita diperbolehkan untuk membaca surat apapun ketika sedang melaksanakan shalat Fardhu. Demikian pula dalam shalat tarawih atau shalat witir. Kita diperbolehkan membaca surat yang mana saja. Namun demikian ada beberapa surat yang biasa beliau baca dalam shalat witir antara lain surat Al-‘Alaa di raka’at yang pertama, surat Al-Kafirun di raka’at ke dua dan surat Al-Ikhlas di raka’at ketiga. (HR An-Nasa'i dan Hakim) dan terkadang beliau menambahkan surat Al-Falaq dan An-Nas (HR. Tirmidzi) dan dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca seratus ayat surat An-Nisa’ dalam raka’at witir (HR. An-Nasa'i dan Ahmad)

R. MEMBETULKAN KESALAHAN IMAM
Kesalahan dalam gerakan yang dilakukan oleh imam -seperti kelebihan raka’at- maka cara membetulkannya adalah dengan penyebutan subhanallah oleh makmum. Sedangkan kesalahan atau lupa membaca potongan ayat Al-Quran oleh imam, maka cara memberitahukannya adalah dengan mengucapkan bacaan yang benar. Dan tidak perlu si makmum berkata, wahai imam, anda salah karena kita sekarang ini sudah raka’at keempat. Mengapa? Karena ungkapan itu tidak lain adalah ‘percakapan’, yang apabila dilakukan, maka akan membatalkan shalat. Sedangkan bacaan makmum membetulkan bacaan imam tidak masuk dalam ‘percakapan’ karena si makmum hanya membaca ayat Al-Qur’an.

# “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat, lalu beliau mengalami kekeliruan dalam membaca ayat Al-Qur’an. Tatkala selesai beliau bersabda kepada Ubay:
Apakah engkau tadi shalat bersamaku?” Jawabnya: “Ya.” Sabdanya: (“Mengapa engkau tidak mau [membetulkan kekeliruanku])?” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, Thabarani, Ibnu ‘Asakir dan Adh-Dhiya, hadits shahih)

Jadi pembetulan dan koreksi hanya berlaku pada bacaan ayat Al-Quran, sedangkan pada gerakan maka cukup dengan membaca subhanallah.

# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah besabda:
Bagi wanita adalah bertepuk tangan.” (Jami’ Ahkam An-Nisa I/352)

S. BERMAKMUM KEPADA SESAMA MASBUQ
Peristiwa pindah shalat jama’ah dari dari imam pertama yang telah selesai shalat kepada makmum lain yang masbuq lalu dijadikan imam, tidak terdapat dalil yang menguatkannya dalam hukum shalat. Yang ada hanyalah bahwa sesama masbuq, maka mereka wajib menyelesaikan sendiri-sendiri shalat mereka dan hukumnya kembali lagi menjadi shalat sendiri.

Bab-bab fiqih shalat pun umumnya tidak membahas masalah pindah shalatnya jama’ah dari imam pertama yang telah selesai shalat kepada makmum lain yang masbuq lalu dijadikan imam. Padahal kalaulah memang masyru’iyahnya ada, pastilah semua fuqaha menuliskannya dalam literatur utama fiqih Islam.

Apabila ada seorang makmum maju dan merasa berhak menjadi imam untuk Anda, padahal tadinya Anda berdua adalah sama-sama makmum, maka Anda tidak perlu menjadi makmumnya tetapi selesaikanlah shalat Anda sendiri,

Kalau ada yang berpandangan bolehnya bermakmum kepada sesama masbuq, maka dasarnya sangat lemah dan kita tidak punya contoh praktek seperti itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat. Sedangkan bila makmumnya adalah orang yang baru datang dan baru mau mulai shalat maka tidak ada larangan untuk menjadikan orang lain yang sedang shalat untuk menjadi imam dan juga tidak perlu menepuk pundaknya. Karena menepuk pundak walau pun tidak dilarang, tetapi bukanlah termasuk bentuk aktifitas shalat dan juga tidak ada dalil yang memerintahkan seseorang untuk menepuk pundak orang yang akan dijadikan sebagai imam.

Perbuatan itu hanya didasarkan kepada nalar sebagian orang bahwa seorang yang tadinya shalat sendiri lalu dijadikan imam perlu mengetahui bahwa di belakangnya ada barisan makmum yang mengikutinya. Sehingga diharapkan agar si imam ini menyesuaikan diri dalam bacaan dan gerakan shalatnya. Misalnya pada shalat jahriyah dimana seharusnya imam mengeraskan bacaan, maka dengan memberi tanda dengan menepuk pundaknya, dia akan mengeraskan bacaan Al-Fatihah dan ayat Al-Qur’an dan para makmum bisa mengamini.

Menepuk pundak itu bukanlah hal yang disepakati oleh semua orang, sehingga salah-salah bisa melahirkan salah tafsir dari si imam. Tidak tertutup kemungkinan orang itu tidak tahu isyarat tepuk pundak ini, sehingga dia menganggap tepukan itu justru gangguan atau peringatan bahaya, lalu dia menyingkir atau malah membatalkan shalatnya, atau yang paling parah adalah dia balas menepuk kepada makmum. Nah kalau begini bisa berabe.

T. BERMAKMUM SHALAT WAJIB KEPADA ORANG YANG SEDANG SHALAT SUNNAH
Para ulama sepakat bahwa tidak harus ada kesamaan niat antara imam dan makmum dalam shalat berjama’ah.

Shalat berjama’ah tetap sah dilakukan meskipun ada perbedaan niat antara imam dengan makmumnya. Misalnya, imamnya berniat melaksanakan shalat fardhu sedangkan makmumnya berniat melaksanakan shalat sunnah, ataupun sebaliknya.
Juga tidak disyaratkan untuk berniat menjadi imam bagi seorang imam yang diikuti, namun bagi makmum wajib berniat sebelumnya.

# Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para sahabatnya dua raka’at kemudian beliau salam. Kemudian shalat lagi bersama kelompok yang lain dua raka’at. Shalat beliau yang pertama adalah shalat fardhu sedangkan yang kedua adalah shalat sunnah. (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu)

# Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu.pernah melaksanakan shalat Isya berjama’ah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia pulang ke kaumnya dan menjadi imam dalam shalat Isya mereka. Tentunya, shalat yang pertama adalah shalat fardhu sedang shalat yang kedua adalah shalat sunnah. (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Muhjan bin Al-Adzra’ radhiyallahu anhu ia berkata:
“Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang di masjid, lalu tibalah waktu shalat dan beliau shalat. Nabi bertanya kepadaku: ‘Kenapa kamu tidak shalat?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku telah melaksanakannya di perjalanan, kemudian aku mendatangimu’ Beliau berkata: ‘Jika engkau melakukan hal tersebut, maka shalatlah bersama mereka dan jadikanlah shalat tersebut sebagai shalat nafilah (sunnah)’” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al-Bani dalam Al-Irwa No. 534)

Dengan demikian, shalat orang yang melaksanakan shalat wajib tetapi berimam dengan orang yang melaksanakan shalat sunnah ataupun sebaliknya adalah sah dan tidak perlu diulangi lagi, meskipun niat shalat antara imam dan makmumnya berbeda.

U. SUJUD SAHWI DALAM SHALAT BERJAMA’AH
Dalam shalat berjama’ah, posisi imam adalah untuk diikuti. Namun hak makmum adalah mengingatkan bila imam lalai atau lupa.

Makmum laki-laki memberi peringatan dengan mengucapkan lafal “Subhanallah”, sedangkan makmum wanita dengan bertepuk tangan.

Untuk itu imam wajib mendengar peringatan makmum bila melakukan kesalahan, dan diakhir shalat hendaknya melakukan sujud sahwi dan wajib diikuti oleh makmum. Meskipun yang lupa hanya imam saja, tapi makmum harus ikut imam dan melakukan sujud sahwi juga.

V. JAMA’AH SHALAT KHUSUS WANITA
1. Posisi Imam Dan Makmum Wanita Dalam Jama’ah Wanita
Hadits yang menjelaskan tentang posisi imam dan makmum bila jama’ah shalat itu khusus para wanita, adalah:

# Dari Atha’ bahwa,
Aisyah pernah beradzan, berqamat dan mengimami para wanita dan berdiri di tengah mereka.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)

# Dari Mujahid dari ayahnya dan Atha’ bahwa,
"Wanita menjadi imam para wanita dalam shalat wajib dan shalat sunnah dengan berdiri di tengah-tengah mereka.” (HR. Abdurrazzaq dalam Mushannafnya)

# Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya:
Jika beberapa orang wanita berkumpul di suatu rumah dan mereka ingin melaksanakan shalat sunnah seperti shalat Tarawih atau shalat fardhu, apakah seseorang diantara mereka harus maju untuk menjadi imam sebagaimana dilakukan oleh kaum pria?”
Jawaban: “Hendaknya salah seorang di antara mereka menjadi imam, baik untuk melaksanakan shalat wajib maupun shalat sunnah, akan tetapi imam wanita itu tidak maju di depan shaf sebagaimana seorang pria mengimami kaum pria dalam shalat berjama’ah, melainkan cukup bagi imam wanita itu untuk berdiri di tengah-tengah shaf pertama.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta VII/390, fatwa nomor 3907]

2. Bacaan Imam Wanita Dengan Jama’ah Wanita
Jika seorang wanita menjadi imam, maka ia disunnahkan untuk menjaharkan bacaan di waktu shalat jahriyyah, yaitu shalat Shubuh, dua raka’at pertama shalat Maghrib dan Isya, kecuali jika ada laki-laki. Dan disunnahkan untuk mensirkan bacaan pada waktu shalat Dzuhur, Ashar dan satu raka’at shalat Maghrib serta dua raka’at terakhir shalat Isya.

Ibnu Qudamah berkata: “Dan hendaklah wanita tersebut menjaharkan bacaan pada shalat jahriyyah, dan jika ternyata ada laki-laki hendaklah ia tidak menjahrkannya kecuali jika laki-laki tersebut adalah mahramnya maka hal tersebut tidak mengapa” (Al-Mughni II/202)

Syeikh Mustahfa Al-Adwi dalam Jami’ An-Nisa ketika mengomentari pendapat Ibnu Qudamah tersebut berkata: “Ini adalah pendapat yang baik karena bertumpu kepada hukum asal dalam melaksanakan shalat berjama’ah yaitu menjaharkan bacaan pada waktu shalat jahriyyah, kemudian beliau mengecualikan satu hal yaitu jika ada laki-laki atau jika ada laki-laki yang mendengarnya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah besabda: ‘Bagi wanita adalah bertepuk tangan’. Ini semua dilakukan agar terjauh dari fitnah. (Jami’ Ahkam An-Nisa I/352)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar