Senin, 25 Juli 2011

SHALAT BERJAMA’AH

 SHALAT BERJAMA’AH
A. HUKUM SHALAT BERJAMA’AH
Jumhur ulama sepakat bahwa hukum shalat berjama’ah itu adalah sunnah muakkadah. Dalilnya adalah hadits yang menyebutkan bahwa shalat berjama’ah itu lebih utama dari pada shalat sendirian dengan 27 derajat.

# Dari Ibnu Umar radhiallaahu anhu, ia berkata: Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Shalat berjama'ah 27 kali lebih utama daripada shalat sendirian.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

# Dari Ibnu Mas'ud radhiallaahu anhu, ia berkata,
Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami sunnah-sunnah (jalan-jalan petunjuk dan kebenaran) dan di antara sunnah-sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikumandangkan adzan di dalamnya.” (HR. Muslim)

Ada sebagian pendapat dari ulama yang menyebutkan bahwa shalat berjama’ah itu hukumnya wajib. Dengan beberapa dalil yang diajukan. Misalnya tentang keinginan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membakar rumah orang yang tidak shalat berjama’ah ke masjid. Juga tentang perintah baliau kepada Abdullah bin Ummi Maktum yang buta namun tetap diperintahkan shalat berjama’ah di masjid. Bahkan meski pun seseorang harus mendatangi masjid walaupun sambil merangkak.

# Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu ia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
'Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Shubuh. Seandainya mereka itu mengetahui pahala kedua shalat tersebut, pasti mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Aku pernah berniat memerintahkan shalat agar didirikan kemudian akan kuperintahkan salah seorang untuk mengimami shalat, lalu aku bersama beberapa orang sambil membawa beberapa ikat kayu bakar mendatangi orang-orang yang tidak hadir dalam shalat berjama'ah, dan aku akan bakar rumah-rumah mereka itu.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

# Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, ia berkata,
Telah datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak punya orang yang bisa menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.' Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, beliau memanggilnya, seraya berkata, 'Apakah engkau mendengar suara adzan (panggilan) shalat?', ia menjawab, 'Ya.' Beliau bersabda, 'Maka hendaklah kau penuhi (panggilan itu)'.” (HR. Muslim)

# Dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila engkau mendengar adzan, maka penuhilah seruannya, perkenankanlah walaupun dengan jalan merangkak.” (HR. Imam Ahmad dan Ath-Thabarani)

# Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa mendengar panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, terkecuali karena udzur (yang dibenarkan dalam agama).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan lainnya, hadits shahih)

Dengan dalil-dali seperti tersebut di atas, ada yang berkesimpulan bahwa shalat berjama’ah itu hukumnya wajib. Namun jumhurul fuqaha tidak sampai mewajibkannya, melainkan hanya mengatakan bahwa pada hakikatnya hukumnya hanya sunnah muakkadah saja.

B. KEUTAMAAN SHALAT BERJAMA’AH
Shalat berjama'ah mempunyai keutamaan dan pahala yang sangat besar, banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut di antaranya adalah:

# Dari Ibnu Umar radhiallaahu anhu, ia berkata: Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Shalat berjama'ah 27 kali lebih utama daripada shalat sendirian.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

# Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, ia berkata: Bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
'Shalat seseorang dengan berjama'ah lebih besar pahalanya sebanyak 25 atau 27 derajat daripada shalat di rumahnya atau di pasar (maksudnya shalat sendirian). Hal itu dikarenakan apabila salah seorang di antara kamu telah berwudhu dengan baik kemudian pergi ke masjid, tidak ada yang menggerakkan untuk itu kecuali karena dia ingin shalat, maka tidak satu langkah pun yang dilangkahkannya kecuali dengannya dinaikkan satu derajat baginya dan dihapuskan satu kesalahan darinya sampai dia memasuki masjid. Dan apabila dia masuk masjid, maka ia terhitung shalat selama shalat menjadi penyebab baginya untuk tetap berada di dalam masjid itu, dan malaikat pun mengucapkan shalawat kepada salah seorang dari kamu selama dia duduk di tempat shalatnya. Para malaikat berkata, 'Ya Allah, berilah rahmat kepadanya, ampunilah dia dan terimalah taubatnya.' Selama ia tidak berbuat hal yang mengganggu dan tetap berada dalam keadaan suci'.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

# Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
Barangsiap yang pulang pergi ke masjid, maka Allah telah mempersiapkan tempatnya di surga setiap ia pergi maupun pulang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

# Dari Abu Darda' radhiallaahu anhu, ia berkata,
Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Tidaklah berkumpul tiga orang, baik di suatu desa maupun di dusun, kemudian di sana tidak dilaksanakan shalat berjama'ah, terkecuali syaitan telah menguasai mereka. Maka hendaklah kamu senantiasa bersama jama'ah (golongan yang banyak), karena sesungguhnya serigala hanya akan memangsa domba yang jauh terpisah (dari rombongannya).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai dan lainnya, hadits hasan )

Para ulama menyebutkan bahwa perbedaan derajat pahala yang diperoleh oleh orang yang shalat berjama’ah tergantung pada kondisi seseorang yang shalat, sebagian mendapatkan dua puluh tujuh dan sebagian yang lain mendapatkan dua puluh lima sesuai dengan kesempurnaan shalat seseorang, kewaspadaan, kekhusyu'an, banyaknya jama’ah dan kemuliaan tempat dimana dia melakukan shalat dan lain sebagainya.

Sebagian ulama menyebutkan sebab-sebab perbedaan derajat tersebut. Di antaranya adalah Al Hafidz Ibnu Hajar, berkata: "Saya telah menyebutkan beberapa sebab perbedaan derajat keutamaan orang yang melaksanakan shalat berjamaah, dan telah saya pisahkan yang tidak bersangkutan dengan shalat berjamaah.” Sebab-sebab yang disebutkan Al Hafizh Ibnu Hajar adalah:

1. Memenuhi panggilan muadzin dengan niat shalat berjamaah di masjid
2. Mengikuti Takbiratul Ihram bersama imam
3. Perjalanan menuju masjid dengan tenang
4. Masuk masjid dengan berdo’a terlebih dahulu
5. Shalat tahiyatul masjid ketika memasuki masjid, ini semua dengan niat shalat berjama’ah
6. Menunggu shalat berjama’ah
7. Do’a dan permohonan ampunan malaikat utuknya
8. Para malaikat menyaksikannya
9. Menyambut iqamat
10. Selamat dari syetan karena dia lari ketika mendengar iqamat
11. Berdiri menunggu takbiratul ihram imam atau langsung mengikutinya dalam keadaan apapun
12. Mendapatkan takbiratul ihram bersama imam
13. Meluruskan shaf dan mengisi shaf yang kosong
14. Menjawab imam ketika mengucapkan "Sami' allaahuliman hamidah"
15. Selamat dari lupa dan mengingatkan imam ketika dia lupa dengan tasbih
16. Mendapatkan kekhusyuan dan selamat dari hal yang melengahkan shalatnya
17. Memperbaiki posisi badan
18. Para malaikat berkeliling mengitarinya
19. Berlatih tajwid dalam membaca Al-Qur'an dan belajar rukun dan sunah-sunah shalat
20. Menampakkan syiar-syiar Islam
21. Mengalahkan syetan dengan berkumpul untuk menunaikan ibadah dan ta'awun dalam keta’atan serta bersemangat untuk mengalahkan kemalasan
22. Selamat dari sifat nifaq dan berburuk sangka kepada orang lain karena dia meninggalkan shalat
23. Menjawab salam imam
24. Mengambil manfaat dari perkumpulan dengan orang lain dalam berdo’a dan berdzikir serta mendapatkan berkah dari orang yang mendapatkan pahala lebih sempurna
25. Bersikap lemah lembut terhadap tetangga melalui shalat berjama’ah.

Kemudian Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Inilah dua puluh lima sebab-sebab dan terdapat banyak dalil yang menyatakan hal ini dalam bentuk perintah atau anjuran. Ada dua hal lain lagi yang menyangkut shalat Jahriyah yaitu:

26. Mendengarkan dan memperhatikan bacaan imam dengan seksama
27. Mengucapkan amin ketika hams mengucapkannya, agar bersamaan dengan para malaikat.

C. JUMLAH ORANG DALAM SHALAT BERJAMA’AH
Shalat berjama'ah bisa dilaksanakan dengan seorang makmum dan seorang imam, sekalipun salah seorang di antaranya adalah anak kecil atau wanita. Dan semakin banyak jumlah jama'ah dalam shalat semakin disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

# Dari Ibnu Abbas radhiallaahu anhu, ia berkata,
Aku pernah bermalam di rumah bibiku, Maimunah (salah satu istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam), kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk shalat malam, maka aku pun ikut bangun untuk shalat bersamanya, aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan menempatkanku di samping kanannya.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

# Dari Abu Sa'id Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiallaahu anhum, keduanya berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa bangun di waktu malam hari kemudian dia membangunkan isterinya, kemudian mereka berdua shalat berjama'ah, maka mereka berdua akan dicatat sebagai orang yang selalu berdzikir kepada Allah'.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim, hadits shahih)

# Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiallaahu anhu,
Bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sudah shalat bersama para sahabatnya, maka beliau pun bersabda, 'Siapa yang mau bersedekah untuk orang ini, dan menemaninya shalat.' Lalu berdirilah salah seorang dari mereka kemudian dia shalat bersamanya'.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, hadits shahih)

# Dari Ubay bin Ka'ab radhiallaahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Shalat seseorang bersama orang lain (berdua) lebih besar pahalanya dan lebih mensucikan daripada shalat sendirian, dan shalat seseorang ditemani oleh dua orang lain (bertiga) lebih besar pahalanya dan lebih menyucikan daripada shalat dengan ditemani satu orang (berdua), dan semakin banyak (jumlah jama'ah) semakin disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala'. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa’i, hadits hasan)

D. HADIRNYA WANITA DI MASJID DAN KEUTAMAAN WANITA SHALAT DI RUMAHNYA
Para wanita boleh pergi ke masjid dan ikut melaksanakan shalat berjama'ah dengan syarat menghindarkan diri dari hal-hal yang membangkitkan syahwat dan menimbulkan fitnah, seperti mengenakan perhiasan, bersolek dan menggunakan wangi-wangian.

# Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Janganlah kalian melarang para wanita (pergi) ke masjid dan hendaklah mereka keluar dengan tidak memakai wangi-wangian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, hadits shahih)

# Dan beliau juga bersabda,
Wanita yang mana saja yang memakai wangi-wangian, maka janganlah dia ikut shalat Isya berjama'ah bersama kami.” (HR. Muslim)

# Pada kesempatan lain, beliau juga bersabda:
Wanita yang mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian dia pergi ke masjid, maka shalatnya tidak diterima sehingga dia mandi.” (HR. Ibnu Majah, hadits shahih)

# Beliau bersabda,
Jika salah seorang dari kalian (wanita) menghadiri mesjid maka janganlah menyentuh wangi-wangian.” (HR. Muslim)

# Beliau juga bersabda,
Jangan kamu melarang istri-istrimu (shalat) di masjid, namun rumah mereka sebenarnya lebih baik untuk mereka.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim, hadits shahih)

# Dalam sabdanya yang lain,
Shalat seorang wanita di salah satu ruangan rumahnya lebih utama daripada di bagian tengah rumahnya dan shalatnya di kamar (pribadi)-nya lebih utama daripada (ruangan lain) di rumahnya.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim)

# Beliau bersabda pula,
Sebaik-baik tempat shalat bagi kaum wanita adalah bagian paling dalam (tersembunyi) dari rumahnya.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, hadits shahih)

E. SHALAT DENGAN MEMAKAI PAKAIAN YANG MENGGANGGU KONSENTRASI JAMA’AH ATAU MEMAKAI PAKAIAN BERGAMBAR
Di antara jama’ah ada yang mengenakan pakaian bermotif (ada gambarnya) dalam shalat, yang bisa membuyarkan konsentrasi (kekhusu’an) dalam shalat. Rasulullah SAW. telah mengajarkan umatnya untuk menjauhi hal ini.

# Dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat di tenda yang ada benderanya. Setelah selesai shalat beliau bersabda,
Bawa tendaku ini kepada Abu Juham dan bawa kain yang ada pada Abu Juham, karena tadi aku terganggu dalam shalatku.” (HR. Bukhari dan Muslim).

# Menurut Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh An-Nawawi atas kitab Shahih Muslim,
Dalam hadits ini terdapat … larangan melihat sesuatu yang dapat membuyarkan konsentrasi atau kekhusu’an, dan larangan untuk membuat gambar, lukisan atau ukiran apapun di tembok-tembok masjid (yang dapat mengganggu konsentrasi jama’ah dalam shalat)…

# Menurut Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu,
Pakaian yang ada gambar atau apapun yang mengganggu, dapat merusak shalat

F. ADAB BAGI JAMA’AH YANG DATANG TERLAMBAT
Berjalan dengan tergesa-gesa menuju Masjid adalah perbuatan yang dilarang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

# Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Apabila shalat telah dimulai, maka jangan kamu mendatanginya dengan tergesa-gesa. Namun datangilah dengan berjalan, dan kamu harus tenang. Lalu, apa pun yang kalian dapatkan (bersama imam), maka shalatlah. Dan apa yang kalian tertinggal, maka sempurnakanlah." (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

# Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Apabila telah datang penggilan shalat, maka datangilah dengan berjalan kaki, dan jagalah ketenangan. Apa yang kamu dapatkan, maka shalatlah. Dan raka’at yang tertinggal olehmu, sempurnakanlah.' (HR. Muslim)

# Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Apabila telah didirikan shalat, jangan kalian datangi dengan tergesa-gesa. Namun datangilah dengan berjalan biasa saja, dan jagalah ketenangan, raka’at yang kalian dapati bersama imam kerjakanlah. Dan yang kurang, sempurnakanlah. Karena sesungguhnya jika seorang di antara kalian hendak shalat, maka ia sudah berada dalam shalat."' (HR. Muslim)

# Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
"Apabila iqamat telah dikumandangkan, janganlah kamu tergesa-gesa mengejar shalat. Akan tetapi, hendaknya kamu berjalan saja dengan menjaga ketenangan dan kenyamanan. Shalatlah seperti apa yang kamu dapati dan lengkapi raka’at yang tertinggal." (HR. Muslim)

# Abu Qatadah radhiyallahu anhu mengisahkan; Ketika kami sedang shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mendengar suara langkah-langkah keras dan hiruk pikuk. Lalu, selepas shalat Rasulullah bertanya,
"Apa yang kalian lakukan tadi?" Para sahabat menjawab, "Kami tergesa-gesa mengejar shalat." Rasul bersabda, "Jangan kalian lakukan hal itu. Apabila kalian akan mendatangi shalat berjama’ah, maka datangilah dengan tenang. Apa pun yang kamu dapati dari imam, kerjakanlah. Dan apa yang tertinggal, sempurnakan." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Menurut Imam An-Nawawi, makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tersebut adalah: jika seseorang hendak shalat berjama’ah, maka ia sesungguhnya sudah berada dalam shalat, sehingga dianjurkan dengan tegas agar kaum muslimin yang memenuhi panggilan shalat untuk bersikap tenang dan penuh wibawa. Hadits ini juga melarang tergesa-gesa saat mendatangi shalat baik shalat Jum'at atau lima waktu lainnya, meskipun ia khawatir ketinggalan takbiratul ihram.

Menurut para ulama, "Hikmah yang terkandung dalam ketenangan ketika memenuhi panggilan shalat dan larangan tergesa-gesa mengejar shalat adalah, bahwa orang yang sengaja berangkat ke masjid untuk menegakkan shalat, hendaknya bertindak sopan, menjaga etika dan dengan kondisi sesempurna mungkin."

Disebutkannya kata "iqamat" dalam sabda Rasul, "Jika iqamat telah dikumandangkan," adalah untuk mengingatkan fungsi iqamat. Sebab, jika Nabi melarang tergesa-gesa mengejar iqamat karena khawatir tertinggal, mengindikasikan bahwa datang sebelum iqamat adalah lebih utama.

Catatan:
Pertama; Jika seseorang berniat melaksanakan shalat berjama’ah di masjid, tetapi ia mendapati jama’ah shalat telah selesai, maka ia tetap memperoleh pahala sama dengan pahala yang melakukan shalat jama’ah. Asalkan, keterlambatannya bukan disebabkan menunda-nunda atau memperlambat diri.

Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

# "Barangsiapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian ia berangkat ke masjid dan mendapati orang-orang telah selesai dari shalatnya, maka Allah memberinya pahala seperti pahala orang yang datang ke masjid lebih dulu dan berjama’ah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun." (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, hadits shahih)

Imam As-Suyuthi dalam Hasyiyah Sunan An-Nasa'i mengatakan, "Hakekat keutamaan berjama’ah tergantung dari kesungguhan usaha seseorang untuk menunaikannya, tanpa memperlambat diri atau ditunda-tunda. Jika demikian, ia tetap mendapatkan pahala berjama’ah, terlepas apakah sempat bergabung dengan jama’ah atau tidak. Maka, siapa saja yang mendapati jama’ah shalat tengah tasyahud, pahalanya sama seperti jama’ah yang shalat dari raka’at pertama. Adapun urusan pahala atau keutamaan tidaklah diketahui dengan ijtihad. Jadi, sepatutnyalah kita tidak mempedulikan pendapat-pendapat yangbertentangan dengan hadits di atas."

Kedua; Sebagian orang ada yang ketika masuk masjid dan mendapatkan jama’ah sudah berada pada raka’at terakhir, mereka lantas hanya menunggu sampai jama’ah tersebut selesai melaksanakan shalatnya. Mereka tidak langsung bergabung dalam jama’ah, dengan alasan ingin membuat jama’ah baru lagi. Ini adalah sikap keliru. Seharusnya dalam kondisi demikian, ia bergabung dengan jama’ah shalat lalu melengkapi shalatnya setelah imam memberi salam.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

# "Apabila kalian datang untuk shalat jama’ah dan mendapati kami sedang sujud, maka sujudlah, dan jangan hitung itu satu raka’at. Dan barangsiapa yang mendapati satu raka’at, maka ia mendapatkan shalat." (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim)

# Ali bin Abi Thalib dan Muadz bin Jabal meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
"Jika di antara kalian mendatangi masjid dan menemukan imam dalam kondisi tertentu, maka lakukan seperti gerakan yang sedang dilakukan oleh imam." (HR. At-Tirmidzi)

Imam Asy-Syaukani mengatakan, bahwa sabda Nabi, "Maka kerjakanlah seperti gerakan yang dilakukan imam," adalah petunjuk bagi makmum yang datang terlambat untuk segera bergabung dengan jama’ah, gerakan apa pun yang sedang dilakukan imam tanpa terkecuali, baik ketika sedang ruku', sujud, ataupun duduk. Hal ini berdasarkan keumuman sabda beliau, "Walaupun imam dalam kondisi bagaimanapun."

Sedangkan maksud dari sabda Rasul "Barangsiapa yang mendapati satu raka’at, maka ia mendapatkan shalat," adalah barangsiapa yang mendapati imam sedang ruku' lalu ia mengikutinya, sebelum imam mengangkat kepalanya, maka ia dianggap telah mendapatkan shalat satu raka’at.

# Siapa yang masih sempat ruku’ bersama imam dalam shalat, maka dia mendapatkan shalat itu (HR. Bukhari dan Muslim).

G. SYARAT DAN KRITERIA MENJADI IMAM DALAM SHALAT BERJAMA’AH
Untuk menjadi imam shalat tidak menunggu ditunjuk dan juga bukan dengan cara berinisiatif, melainkan dengan pengetahuan yang jelas dan pasti tentang syarat dan kriteria yang lebih utama untuk menjadi imam.

Secara umum, orang yang harus dipilih jadi imam shalat adalah orang yang paling faqih dalam urusan agama terutama dalam masalah shalat.

Selain itu para ulama juga menyebutkan yang paling banyak hafalan Al-Qur’an nya, juga yang paling baik bacaannya dan lainnya.

Para ulama telah berhasil membuat peringkat yang paling berhak untuk menjadi imam dalam shalat. Misalnya dalam madzhab Al-Hanafiyah disebutkan peringkat itu yaitu:

1. Orang Yang Paling Baik Bacaannya
Di antara syarat yang paling utama untuk menjadi imam dalam shalat berjama’ah adalah orang yang paling baik bacaannya atau disebut dengan aqra’uhum. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau:

# Dari Abi Mas’ud Al-Anshari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Yang menjadi imam shalat bagi manusia adalah yang paling baik bacaan kitabullahnya (Al-Quran Al-Karim). Bila mereka semua sama kemampuannya dalam membaca Al-Quran, maka yang paling banyak pengetahuannya terhadap sunnah” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari)

# Dari Abu Masna Al-Badri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Jama’ah di imami oleh yang lebih pandai membaca Kitab Allah. Jika sama-sama pandai dalam membaca Kitab Allah, maka oleh yang lebih alim tentang sunnah. Jika sama-sama pula, maka oleh yang lebih tua.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan aqra’uhum adalah yang paling paham, yakni yang paling paham dalam masalah agama, terutama dalam masalah shalat.

2. Orang Yang Paling Wara’
Lalu peringkat berikutnya adalah orang yang paling wara’, yaitu orang yang paling menjaga dirinya agar tidak jatuh dalam masalah syubhat

# Dari Abi Martsad Al-ghanawi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Rahasia diterimanya shalat kamu adalah yang jadi imam (seharusnya) ulama di antara kalian. Karena para ulama itu merupakan wakil kalian kepada Tuhan kalian.” (HR. At-Thabrani dan Al-Hakim).

# Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jadikanlah orang-orang yang terpilih di antara kamu sebagai imam; karena mereka adalah orang-orang perantaraan kamu dengan Tuhanmu.” (HR. Ad-Daruqutni).

# “Apabila seseorang menjadi imam …, padahal di belakangnya ada orang-orang yang lebih utama daripadanya, maka semua mereka dalam kerendahan terus menerus.” (HR. Ahmad)

3. Orang Yang Lebih Tua Usianya
Peringkat berikutnya adalah yang lebih tua usianya. Dengan pertimbangan bahwa orang yang lebih tua umumnya lebih khusyu` dalam shalatnya. Selain itu memang ada dasar hadits berikut:

# Hendaklah yang lebih tua diantara kalian berdua yang menjadi imam (HR. Imam yang enam).

Apabila derajat mereka semua sama, maka boleh dilakukan undian.
Intinya kita dapat ambil bahwa syarat yang paling utama dari imam itu adalah yang paling baik bacaannya dan paling paham dalam hukum-hukum shalat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar